Categories
Mix

Tentang Indonesia Tanpa JIL dari Ichanx

Tentang #IndonesiaTanpaJIL dari Ichanx

Tentang Indonesia Tanpa JIL dari Ichanx
Menjadi Muslim adalah pilihan. Tidak ada yang berhak memaksa seseorang untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, atau pun menolaknya membacanya. Tetapi ketika seseorang telah memutuskan dirinya untuk memeluk Islam, maka secara otomatis dia mengikatkan dirinya pada peraturan-peraturan thus ritual-ritual yang diringkas dalam dogma Rukun Iman dan Rukun Islam.

 

Aturan-aturan tersebut tersurat dalam Al Quran yang merupakan pedoman hidup umat Islam, dan dijelaskan secara rinci dalam Hadist Rasul. Contoh mudahnya, Al Quran mewajibkan umat Islam untuk Shalat, tanpa merinci tatacaranya. Nah, tatacara Shalat bisa kita dapatkan dari Hadist. Intinya, masing-masing berhubungan. Mengenai peraturan-peraturan yang belum termaktub dalam AlQuran dan Hadist, terutama terkait situasi kondisi masa kini yang berbeda dengan masa diturunkannya Al Quran, umat Islam biasa berpegang pada yang namanya Ijma dan Qiyas, atau secara lebih luas biasa disebut Ijtihad.

 

Produk dari suatu Ijtihad tentunya tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang telah tertulis di Al Quran ataupun diterangkan Rasulullah dalam hadist-hadistnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pelaku Ijtihad adalah orang-orang yang tentunya mengerti dan mendalami ajaran Islam. Contoh mudahnya, Al Quran didukung berbagai catatan Hadist melarang umat Islam untuk minum khamr (memabukkan). Tidak ada sama sekali tertulis larangan menghisap sabu, karena pada masa Rasulullah belum ada. Tapi para ulama bersepakat (Ijma) bahwa menghisap sabu efeknya sama, bahkan lebih berbahaya (Qiyas) daripada khamr. Karena khamr sudah jelas diharamkan, maka menghisap sabu pun diputuskan sebagai sesuatu yang haram bagi kaum Muslimin.

 

Adakalanya Ijtihad menghasilkan sesuatu yang debatable. Contoh paling mudah di Indonesia adalah dalam penentuan Idul Fitri 1 Syawal. Ada sekelompok Ulama yang berijtihad untuk menentukan 1 Syawal berdasarkan kemunculan bulan secara kasat mata. Ada sekelompok ulama yang menentukan 1 Syawal berdasarkan perhitungan astronomis. Masing-masing pendapat itu pun ada turunannya lagi. Namun, yang perlu diperhatikan disini, masing-masing pendapat itu berpegang pada Al Quran dan Hadist tentang penentuan awal bulan, Idul Fitri, dsb. Bukan asal-asalan berpendapat.

 

Disinilah umat Muslim yang “dewasa” harus memaknai perbedaan output dari Ijtihad. Karena masing-masing pendapat Insya Allah berdasarkan dalil-dalil yang shahih, maka perbedaan hasil Ijtihad ini merupakan contoh perbedaan yang seharusnya bisa diterima. Sebagai orang awam, kita berhak menentukan pilihan hari Idul Fitri kita pada salah satu dari pendapat tersebut yang kita kira “lebih afdhol”. Namun, pendapat yang berbeda bukan untuk disalahkan. Toh, masing-masing sudah mengemukakan argumennya berdasarkan AlQuran dan Hadist yang keshahihannya sudah diterima umum.

 

Fenomena beberapa tahun belakangan ini, makna Ijtihad menjadi melebar tanpa batas. Di Indonesia, kelompok yang dimotori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tokoh utamanya macam Ulil Abshar Abdalla, Guntur Romli, dll aktif mengkampanyekan Ijtihad di hampir seluruh aspek ke-Islaman. Disinilah muncul kerancuan suatu Ijtihad. Tidak jarang, suatu pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan aturan baku di Al Quran ataupun Hadist, dikampanyekan sebagai sebuah Ijtihad.

 

Untuk mendukung argumennya, tidak jarang pula (baca: sering) kelompok pemikiran ini melakukan penafsiran tersendiri terhadap suatu ayat Al Quran. Namun, penafsiran ini sangat sering serampangan, seenaknya, dan bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya. Jangan disamakan dengan penafsiran Al Quran ala Ibnu Katsir ataupun Hamka di Indonesia yang mendalam dan sangat teliti. Sayangnya, umat Islam Indonesia secara umum yang tentunya kelompok Islam KTP termasuk gw (baca: memeluk Islam, mungkin aktif pula dalam ritual keIslamannya, namun tidak mau belajar Islam secara mendalam) sering terbuai dengan penafsiran atau Ijtihad seenaknya tersebut, yang selalu berlindung dibalik kata-kata sakti macam “pluralism”, “Islam yang damai”, “kebebasan berpendapat”, dsb.

 

Silahkan baca situs JIL di islamlib.com atau tulisan-tulisan pribadi para dedengkot JIL yang berhubungan dengan Agama.

 

Semua terkesan indah, damai, anti kekerasan, logis, dll. Bila kita tidak melengkapi diri dengan pengetahuan dan keimanan yang “cukup”, bukan tidak mungkin kita akan mengangguk-anggukkan kepala ketika situs itu mengkampanyekan hal-hal yang sebenarnya sudah ada aturan jelasnya di Al Quran dan Hadist sebagai pedoman hidup kita kaum Muslimin, semisal “Muslimah tidak wajib berjilbab”, “Semua agama adalah benar”, “Shalat boleh pakai Bahasa Indonesia”, bahkan “Adanya kontradiksi dalam Al Quran”.

 

Ijtihad ala JIL ini tentu saja tidak sesuai dengan Islam yang gw yakini. Bagaimana mungkin, ketika Al Quran sudah menyuruh muslimah menutup auratnya, didukung bermacam hadist yang memberi penjelasan secara lebih rinci, JIL tiba-tiba berijtihad bahwa pemakaian jilbab adalah bukan ketentuan Islam namun hanyalah budaya Arab, yang secara otomatis menihilkan kewajiban menutup aurat bagi Muslimah?

 

Bagaimana mungkin ketika Al Quran telah menyabdakan finalitas kebenaran dalam Islam, JIL tiba-tiba mengkampanyekan bahwa kebenaran bisa ada dimana saja? Bagaimana mungkin ketika Al Quran dan Hadist telah menjelaskan tentang larangan perilaku homoseksual, Ulil Absar Abdalla yang aktifis JIL tiba-tiba menyangkal dan berasumsi bahwa hukuman Allah pada kaum Nabi Luth di Sodom-Gomorrah malah disebabkan oleh hal-hal remeh yang tidak masuk akal?

 

Semua agama mengajarkan kebaikan, itu pasti. Setau gw, gak ada agama yang nyuruh penganutnya untuk korupsi, merkosa, dll. Tapi, mengenai kebenaran, begitu gw memutuskan menerima agama gw Islam, secara otomatis gw akan bilang bahwa kebenaran ada di agama gw, seperti yang tertulis di Al Quran sebagai pegangan umat Islam.  

 

Adalah sebuah oksimoron ketika gw bilang bahwa gw Islam, tapi gw bilang agama lain juga benar. Gw yakin, temen-temen yang Katholik, Kristen, Buddha, dll pun akan berkeyakinan sama tentang kebenaran agamanya. Yang jelas diajarkan di Islam, adalah menghormati penganut keyakinan lain. Hubungan sosial, kerjasama, pertemanan, muamallah dll adalah sesuatu yang harus selalu dijunjung tinggi dalam kerangka toleransi dan saling menghargai.

 

Sayangnya, dengan berlindung di balik topeng “anti kekerasan”, JIL selalu memposisikan orang yang mengkritisi “ijtihad abal-abal” mereka sebagai kelompok pencinta kekerasan. Great. Taktik cerdas, and it works! Karena kebetulan JIL “berseteru keras” dengan FPI misalnya, maka setiap orang yang menolak Ijtihad ala JIL dengan cepat dicap sebagai simpatisan FPI. Pencinta kekerasan. Oalah… Jangan-jangan abis baca tulisan ini, temen-temen gw juga langsung nyangka gw anggota FPI, atau MMI, atau Al Qaeda, atau apalah =))))

 

Lalu, seandainya ijtihad ala JIL itu salah, dimana masalahnya? Toh semua orang berhak berpendapat. Dan toh, JIL pun tidak pernah memaksa orang untuk setuju dengan pendapatnya.

 

Disinilah yang bikin gw “jengkel” dengan JIL.

Tidak masalah ketika JIL berpendapat dalam koridor pribadi masing-masing atau internal kelompoknya saja. Tetapi kenyataannya gak begitu. Kampanye masif “penyebaran paham Islam Liberal ala JIL” sudah pada tahap merusak. Bukan dengan bentuk kriminal menggunakan pentungan atau bahkan bom ala teroris tentunya. Tapi dengan pemutarbalikan pemikiran dan meremang-remangkan segala sesuatu yang sudah jelas dalam Islam. Para aktifis sepemikiran JIL melebur di berbagai ormas Islam, partai politik, media massa, social media, bahkan mesjid kampus dalam menyebarkan pahamnya.

 

Gw peduli ke temen-temen Muslim gw yang lain. Gw peduli ke keturunan gw kelak. Gw gak ingin mereka ikut tersesat dengan paham-paham nyeleneh dari JIL ini.

 

Lalu, sesudah nulis sepanjang ini, apa berarti gw udah Islam secara kaffah? Udah gak bikin dosa sama sekali? Halah. Gak ada manusia yang bebas dari dosa. Apalagi gw yang begajulan ini. Jujur, gw mah dosanya udah kebanyakan. Tapi, gw gak akan melakukan justifikasi perbuatan dosa gw dengan mempermainkan ayat Al Quran. Dosa ya dosa. Salah ya salah. Gw Cuma berharap, cepat atau lambat gw bisa jadi Muslim yang baik dan bisa meminimalisasi tabungan dosa gw.

 

Yang jelas, gw gak akan melakukan so called Ijtihad untuk menyesatkan orang lain apalagi untuk melakukan pembenaran hal salah yang gw lakukan dan menjerumuskan orang lain untuk meragukan kebenaran Al Quran dan Hadist dengan menafsirkan bahwa aturan dosa akan kegiatan yang gw lakukan adalah remeng-remeng, multitafsir, atau bahkan sebagai sesuatu yang halal.

 

Capek nulisnya… Intinya…

I SUPPORT #IndonesiaTanpaJIL

 

Dicopy dari artikel asli di:

http://www.ichanx.net/indonesia-tanpa-jil/


www.stisitelkom.ac.id
 www.di.stisitelkom.ac.id www.ktm.stisitelkom.ac.id

www.dkv.stisitelkom.ac.id www.dp.stisitelkom.ac.id www.srm.stisitelkom.ac.id

www.blog.stisitelkom.ac.id www.multimedia.stisitelkom.ac.id

www.elearning.stisitelkom.ac.id www.library.stisitelkom.ac.id

www.digilib.stisitelkom.ac.id www.mirror.stisitelkom.ac.id

www.sisfo.stisitelkom.ac.id www.hilfan.blog.stisitelkom.ac.id

www.hilfans.wordpress.com www.hilfan-s.blogspot.com www.askaf.co.id

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Just Shared on Tel-U

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading