Categories
Belajar Islam History Mix

Sejarah Indonesia: Riwayat Pembenturan Islam dengan Keindonesiaan

Sebuah brosur tipis diterbitkan Masyumi usai pemilu legislatif 1955, dan sebelum pemilihan anggota Konstituante pada 15 Desember 1955. Brosur itu terbit di Bandung pada Oktober 1955 dan dicetak oleh Percetakan Alma’arif Bandung. Alma’arif adalah perusahaan percetakan dan penerbitan buku yang disegani yang berkantor di Bandung. Saat itu di Bandung ada dua penerbit Islam yang disegani, satunya lagi adalah Penerbit Diponegoro.

 

Brosur itu setebal 14 halaman, termasuk halaman belakang. Sedangkan halaman satu langsung masuk kepada materi. Karena ini brosur maka tak ada daftar isi – kendatipun dibuat dalam format buku ukuran 13 x 17 cm, sedikit lebih besar dari ukuran saku. Saya mendapatkan brosur ini dari lapak buku bekas di Facebook.

Brosur itu berjudul “Masjumi dan Pantja Sila”. Brosur ini berisi semacam laporan kepada publik terhadap hasil pemilu legislatif yang dilakukan pada 29 September 1955. Pemilu ini diikuti oleh 34 peserta pemilu untuk memperebutkan 257 kursi di 15 daerah pemilihan. Masyumi memenangkan 10 daerah pemilihan, NU dua daerah pemilihan (Jawa Timur dan Kalimantan Selatan), PNI dua daerah pemilihan (Jawa Tengah dan NTB/Bali), Partai Katolik memenangkan satu daerah pemilihan (NTT), PKI nol daerah pemilihan. Pemilu 1955 memang menghasilkan empat besar. Berturut-turut adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai Katolik yang hanya menduduki urutan ke-7 (2,0 persen) tapi memenangkan satu daerah pemilihan.

Tentang pelaksanaan pemilu pada 1955 itu ada laporan penelitian ilmiah yang sudah menjadi referensi klasik yang disusun oleh Herbert Feith, peneliti dari Australia, yang sangat diakui kewibawaannya. Laporan penelitian itu sendiri merupakan proyek yang diampu oleh George McTurnan Kahin, seorang peneliti yang sangat disegani dari Cornell University, Amerika Serikat. Inilah laporannya:

“Lama ditunggu-tunggu dan ditunda berkali-kali, kedua pemilihan umum ini (pemilihan anggota parlemen dan pemilihan anggota Konstituante – red) disiapkan oleh sebuah kabinet, lalu dilaksanakan oleh sebuah kabinet lain yang sangat berbeda warna politiknya dan baru saja menduduki kursi kekuasaan”. Adapun undang-undang tentang pemilihan umum diajukan oleh kabinet Wilopo dari PNI. Sedangkan panitia pemilu dibentuk oleh kabinet Ali Sastroamidjojo, juga dari PNI, yang menggantikan kabinet Wilopo.

“Dalam badan ini tidak ada wakil dari partai-partai yang beroposisi.” Saat itu, panitia pemilu merupakan gabungan berbagai pihak, termasuk wakil-wakil partai. Namun ada “Peristiwa 27 Juni 1955” yang menimbulkan krisis militer-politik yang mengakibatkan kabinet Ali jatuh dan digantikan oleh kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Banyak yang ragu pemilu bisa sesuai jadwal, namun dengan sisa waktu tiga bulan, kabinet ini berhasil melaksanakan pemilu.

Dalam brosur yang dikeluarkan Masyumi ditulis, “Selama kabinet Ali Sastroamidjojo, yaitu selama dua tahun [Masyumi] mendapat tekanan yang sangat hebat, sedangkan partai-partai lain selama kabinet tersebut mempunyai kesempatan yang luas untuk mengumpulkan kekuatan dan tenaga dengan jalan mengadakan mutasi dan pencopotan secara besar-besaran untuk mempengaruhi pangrehpraja (birokrat– red), memperkuat fonds-fonds (pendanaan – red) mereka dengan mengeluarkan lisensi-lisensi istimewa yang sudah dirasakan oleh rakyat kepedihannya.”

Inilah poin penting dari brosur itu. Masyumi menghadapi lima tuduhan utama. Pertama, jika Masyumi menang maka Bung Karno akan diganti. Kedua, jika Masyumi menang maka Merah Putih akan diganti dengan Bulan Bintang. Ketiga, jika Masyumi menang maka lagu Indonesia Raya akan diganti dengan marhaba. Keempat, jika Masyumi menang maka tentara akan diganti dengan GPII, sebuah organisasi kepemudaan. Kelima, jika Masyumi menang maka Pancasila akan diobrak-abrik.

Saya belum mendapatkan informasi apakah tuduhan yang sama juga ditujukan kepada NU, PSII, dan Perti. Namun semua tuduhan itu intinya adalah membenturkan Islam dengan keindonesiaan. Tuduhan itu mencerminkan kelucuan, kepandiran, dan tentu saja jahat. Kendatipun ada hal yang substansial yaitu soal Pancasila. Soal ini membutuhkan pembahasan tersendiri, yang pasti UU Pemilu yang di dalamnya termasuk pembentukan badan Konstituante justru diusulkan oleh Wilopo yang dari PNI. Konstituante adalah badan yang dibentuk untuk menyusun konstitusi baru.

Feith, dalam sebuah wawancara pada 1999, yang kemudian dijadikan pengantar pada penerbitan buku berisi laporan penelitiannya tentang pemilu 1955 di edisi Indonesia tersebut mengatakan, “Kalau pemilu diuji menurut pengetahuan yang dimiliki oleh massa pemilih mengenai program partai-partai, saya kira itu salah. Pemilu, di mana-mana, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kepercayaan dan kecurigaan daripada faktor seperti program partai.” Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan ke kekuatan Islam pada pemilu 1955 memperlihatkan upaya membangun sentimen anti-Islam melalui pembenturan Islam dan keindonesiaan, jauh dari isu program.

Gagasan membenturkan Islam dengan lokalitas bukanlah hal baru. MC Ricklefs, dalam bukunya Mengislamkan Jawa, menjelaskan bahwa proses Islamisasi merupakan proses dari atas ke bawah, bukan sebaliknya. Puncaknya adalah kompromi yang dibangun Sultan Agung yang mendamaikan keyakinan setempat dengan Islam yang menghasilkan apa yang dinamakan Ricklefs sebagai Sintesis-Mistik – identifikasi Jawa sebagai Muslim, melaksanakan rukun Islam, dan penerimaan terhadap kekuatan roh lokal. Ini berarti menjadi Islam sekaligus menjadi Jawa bukanlah hal yang problematis.

Proses Islamisasi itu berlangsung sejak pertengahan abad ke-15. Namun setelah kekalahan Diponegoro, mulai muncul upaya penentangan. Ini karena elite Jawa mulai berinteraksi intensif dengan orang Eropa. Upaya membalikkan keadaan mulai terjadi sejak 1950an, berbarengan dengan mulai berhasilnya misi Kristen di Jawa, walau sangat sedikit. Priyayi Jawa itu mengidealkan Jawa pra-Islam sebagai masa klasik, mirip dengan idealisasi orang Eropa terhadap abad pertengahan. Bahkan ada anggapan peralihan ke Islam sebagai kesalahan peradaban. Setelah Politik Etis, gerakan itu makin intensif, walaupun kemudian gagal. Para priyayi itu “meragukan bahwa Islamisasi itu adalah gagasan yang baik”.

Ricklefs membagi masyarakat Indonesia ke dalam tiga golongan, yaitu elite/priyayi, santri (putihan), dan abangan. Santri sendiri dibedakan ke dalam dua varian yaitu modernis dan tradisionalis. Modernis mulai hadir sejak awal abad ke-19 yang hendak memurnikan praktik beragama. Sedangkan kaum tradisionalis bertahan dengan cara mengakomodasi budaya setempat. Polarisasi tiga golongan ini serta varian di dalam Islam tersebut terus berlanjut hingga kini. Apa yang terjadi pada pilkada DKI yang baru lalu mencerminkan realitas tersebut, terutama upaya pembenturan Islam dengan keindonesiaan. Ricklefs menyimpulkan bahwa upaya membalik arus itu hanya kesia-siaan belaka.

Jika dicermati, pertarungan pada pilkada lalu sebetulnya memperlihatkan kekalahan berkompetisi belaka, hanya saja memanfaatkan aspek-aspek sosiologis dan historis yang melingkupinya yang sudah terbukti gagal.

Mari kita berkaca lagi pada brosur Masyumi tersebut. “Ialah dusta dan fitnah yang mereka lemparkan,” tulisnya. Karena itu, mereka menjelaskan satu per satu tentang lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, Pancasila, tentara, dan Bung Karno.

Generasi santri sekarang adalah generasi yang berbeda. Mereka umumnya Gen-X dan Gen-Y, bukan lagi Generasi Baby Boomers, apalagi Lost Generation. Mereka mandiri, independen, memiliki sikap, percaya diri, terdidik, dan profesional. Mereka tak mudah ditakut-takuti dan dipecah belah.

http://catatansamifiaa.blogspot.co.id/2016/06/fitnah-dan-adu-domba.html

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/05/05/opfqfi319-riwayat-pembenturan-islam-dengan-keindonesiaan

2 replies on “Sejarah Indonesia: Riwayat Pembenturan Islam dengan Keindonesiaan”

Berarti di Indonesia memang sudah dari dulu islam dan nasionalis dibenturkan. Pertanyaannya, siapa yang membenturkan dan apa keuntungan yang mereka dapat? Terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *