Categories
Belajar Islam

“Umar” Film Kepahlawanan Islam

Oleh: Muhammad Elvandi, Lc

Sumber : http://url.stisitelkom.ac.id/89834


Ilustrasi – Poster Film Umar. (inet)

Setiap umat berbangga dengan sejarah masa lalunya untuk menginspirasi masa depannya. Mereka mengumpulkan manuskrip para pahlawannya, hingga detail-detailnya untuk kemudian mereka presentasikan ke generasi mudanya. Oleh karena itu lihatlah di Paris, museum para pahlawan mereka berderet di setiap pojok kota. Setiap kisah kepahlawanan itu diintegrasikan ke dalam semua proses pembelajaran generasi muda mereka. Dengan semua sarana yang mungkin.

Bahkan bagi umat yang tidak mempunyai sejarah panjang seperti Amerika. Mereka baru berumur tiga abad. Tidak banyak yang bisa mereka banggakan untuk rakyatnya, tapi mereka memahami arti penting sejarah yang membangkitkan energi positif. Maka mereka buat seadanya dari tokoh manapun yang tersisa, hingga berdiri salah satu museum, yaitu museum ‘Pirate’. Bayangkan, segerombol perampok lautan mereka pajang karena tidak banyak yang bisa mereka pajang.

Siapa yang tidak kenal kejayaan masa lalunya maka ia tidak ada kegemilangannya masa depan yang menantinya. Ini dipahami benar bagi umat-umat yang sadar kaidah-kaidah revolusi sosial. Maka di abad ini layar kotak di ruang-ruang tamu kita dibanjiri film-film yang menggambarkan keagungan pahlawan-pahlawan Barat.

Kejayaan Roma dikembalikan dengan visualisasi yang begitu detail dan memukau dalam serial seperti Rome, Los Borgias. Caesar menjadi inspirasi para politisi pengagung republik, William Wallace menjadi simbol sebuah perlawanan Skotlandia melawan penjajahan Inggris. Henry VIII yang kejam itu dipoles sehalus mungkin di 4 season serial Tudors-nya yang menjadi inspirasi restorasi keagamaan Eropa. Dan Raja Arthur yang gemar perempuan itu menjadi begitu bijak dalam film-film baik Excalibur, King Arthur, ataupun serial Camelot. Ia disimbolkan menjadi tokoh pengembali kejayaan Eropa dari kepingan reruntuhan kerajaan-kerajaan Roma.

Film Alexander, Spartacus, 300, menjadi wakil kegemilangan bangsa Yunani yang pernah menguasai dunia. Atau seperti juga Joan of Arc yang menjadi wanita pahlawan Kristen Perancis; Napoleon yang kuda-kudanya pernah menginjak-injak kehormatan Al-Azhar Mesir tidak hanya digandrungi orang Perancis, tapi oleh umat Islam juga karena kuatnya efek sugesti kepahlawanan yang disebar, belum lagi kisah heroik Louis IV, raja teragung mereka, dan para pemikir-penulisnya seperti CamusVictor Hugo, Sade, Voltaire dan Rosseau.

Umat Timur pun tidak lupa membakar obsesi dan meluaskan cakupan mimpi generasi mudanya dengan film. Attila adalah tokoh kebanggaan ras Turki, seperti juga Jengis Khan. Kisah para kesatria Samurai dalam film-film Jepang benar-benar menjaga kemurnian tradisi asli mereka yang berkhidmah hanya untuk kaisar. Ada Ghandi, Mao Tse Tung, Bruce Lee, bahkan film G-30S PKI adalah usaha-usaha untuk menyebar nilai-nilai tertentu bagi generasi baru. Karena bahasa tulisan tidak memasuki hati seperti bahasa gerakan. Semua pesan itu masuk sebenar masuk ke dalam pikiran dan hati, salah atau pun benar.

Apalagi Amerika, film-film yang mereka produksi itu walau fiksi bukan tanpa bekas bagi jiwa. Jika tanpa sadar anak-anak kecil kita melakukan gerakan refleks, meniru gerakan beberapa tokoh seperti Spiderman dan Rambo. Itu bukan kebetulan. Atau ketika para pemuda yang kepalanya tertunduk saat berbicara persaingan dengan Amerika itupun bukan kebetulan. Karena setiap saat mata kita mengkonsumsi semua ‘kegemilangan’ budaya mereka.

Mental manusia itu bisa melambung tumbuh saat merasakan kebesaran sejarah bangsa sendiri ataupun menciut kecut saat melihat ketiadaan sejarah dan justru melihat keagungan umat lain. Itulah yang terjadi saat kecanggihan militer dan teknologi Amerika kita saksikan di film-film seperti Hulk dan Iron Man, atau keberanian mereka di film Saving Private RyanThe Patriot, dan serial Band of Brother.

Sedangkan film yang diputar di masyarakat muslim sejak tahun 1977 hanyalah The Message atau ar-Risâlah. Sekali-kali ditambah dengan film Umar Mukhtar, atau film serial berkualitas rendah, baik dari akting, latar, desain pakaian dan skenario. Terlebih jika ia film Islam, tidak memperhatikan validitas data sejarah, bahkan tidak memberi inspirasi malah menciptakan fitnah seperti serial Hasan dan Husein atau film serial al-Jama’ah yang mendistorsi sejarah kelahiran Ikhwanul Muslimîn dan biografi Hasan al-Banna.

Di tengah kegersangan ini, saat generasi muda muslim pasca revolusi 2011 membutuhkan inspirasi pemimpin datanglah serial film tentang salah satu manusia teragung sepanjang sejarah umat manusia: Umar bin Khattab.

Ia bukanlah film asalan dan berformalitas ‘Islam’. Tapi ia adalah proyek besar yang Insya Allah diberkahi. Hâtim ‘Ali Sang Produser dari Syria ini tidak tanggung-tanggung dalam membuatnya. Ia carikan penulis skenario se-kaliber Dr. Walîd Saif yang telah menulis naskah-naskah besar seperti ‘Az-Zair as-Sâlim, al-Khansâ, as-Syajaratud Dur, Salahuddîn al-Ayyûbi, Rabi’ Cordoba dan banyak lagi. Tidak hanya itu, semua skenario serial Umar ini telah diteliti validitas sejarah hingga ke detail-detailnya oleh sebuah tim yang terdiri dari ulama-ulama besar seperti: Dr. Yûsuf al-Qaradhâwi, Dr. Salmân al-‘Audah, Dr. ‘Abdul Wahhâb at-Tharîri, Dr. ‘Ali as-Shallâbi, Dr. Sa’ad al-‘Atîbi, Dr. Akram Dhiyâul ‘Umari.

Sepanjang sejarah sinema Arab, belum pernah diproduksi film sebesar ini. Tempat shooting diambil di berbagai lokasi dari Maroko hingga Syria. Dengan 322 pemeran dari 5 benua berbeda. Film Umar berhasil membangun ulang suasana kota Mekah dan Madinah abad ke-7 dengan 29 bangunan internal untuk shooting dan 89 bangunan eksternal. Yang didesain di pinggiran kota Marakech di Maroko. Ditambah lagi desain Ka’bah yang persis aslinya di zaman itu sebesar 12.000 meter persegi.

Kerja terberat adalah visualisasi perang. Ia membutuhkan 170 hari untuk perang saja. Dan untuk keseluruhan momen besar itu membutuhkan 20.000 pemeran ekstra dalam perang.  Tidak hanya dalam perang tapi juga dalam momen-momen eksternal seperti Thawaf di Ka’bah atau Fathu Mekah.

Film produksi MBC ini menyiapkan 1.970 pedang, 650 tongkat, 1.050 perisai, 400 busur dan 4.000 anak panahnya, 170 baju besi untuk perang yang disebut dira’, 15 gendang, 1.600 tembikar, 7.550 sandal, 137 patung, 14.200 meter kain, 39 ahli desain dan penjahit, 100.000 koin, 1.500 kuda dan 3.800 unta.

Kerja yang sungguh besar, saat ditanya alasan usaha ini, mereka menjawab, tokoh sebesar Umar tidak layak dipresentasikan kecuali dalam karya yang besar pula. Sehingga 299 designer dari 10 negara pun secara khusus didatangkan.

Film Umar yang menghabiskan 322 hari ini terus melejit menuju dunia internasional, dimulai dari timur tengah, kemudian menuju Turki dengan bekerja sama dengan TV terbesar mereka yaitu ATV Turkuvaz Media Group. Dan di Indonesia bekerja sama dengan MNC TV. Hingga saat ini penonton film ini sekitar 700 juta, atau setengah populasi umat Islam. Dan ia akan terus menyebar dengan terjemahan-terjemahan ke bahasa asing lain. Sekaligus ini menjadikannya film yang paling banyak disaksikan dalam
sejarah perfilman Arab.

Sepanjang perjalanan tayang di bulan Ramadhan 2012 lalu, film Umar bukan tanpa tentangan dan makian. Beberapa ulama yang melihat bahwa visualisasi sahabat haram menyebarkan terus fatwa-fatwanya di berbagai media, menyeru untuk memboikot film ini.

Namun Dr. Salmân ‘Audah yang mempunyai pendapat lain tidak melihat pertentangan ini sebagai sesuatu yang esensial.  Karena urusan ini tidak ada aturan dan larangannya dalam Qur’an maupun Sunnah. Ia hanya berada di domain perbedaan pendapat ulama soal setuju dan tidak setuju, bukan halal-haram. Tiap ulama berpikir dan berijtihad sesuai sudut pandang yang diyakini benarnya, bukan mutlak. Maka ia sangat mungkin berbeda pendapat. Dalam Islam, perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidak berlaku hukum halal-haram, tapi yang tepat dan tidak tepat. Allah mengganjar yang tidak tepat dengan satu pahala karena usaha berpikirnya itu, sedang yang tepat dengan dua pahala karena usaha dan ketepatannya. Maka alangkah sayangnya jika ulama-ulama umat ini malah semakin memecah umat dengan fatwa-fatwa kerasnya itu.

Karena perfilman sekarang ini “sedang berada di medan sengit, jika Anda tidak mengisinya, maka pasti orang lain yang akan mengambil alih, apalagi dasar semua persoalan ini adalah ‘boleh’” kata Dr. Salmân. “Fatwa-fatwa itu tidak juga menghentikan orang-orang dari waktu luangnya yang panjang untuk menonton tayangan-tayangan yang tidak layak, tapi justru fatwa-fatwa itu menghadang niat tulus orang-orang yang berjuang memberi alternatif tayangan untuk masyarakat” lanjutnya.

Yang diperlukan hanyalah pengawasan ketat terhadap film sahabat. Oleh karena itu tim pengawas yang terdiri dari 6 ulama besar ini memberikan syarat-syarat yang sangat berat bukan hanya pada skenario, tapi juga pada para pemainnya. Untuk pemeran Umar misalnya, selain sifat-sifat fisik yang mendekati Umar, ia harus pemain baru, yang tidak mempunyai reputasi perfilman sebelumnya, dan ia harus bersedia tidak menerima tawaran apapun selama 5 tahun terhitung sejak mulai kontrak film Umar.

Pilihan itu jatuh pada Sâmir Ismâ’îl, seorang mahasiswa Syria yang tidak pernah mempunyai pengalaman film sebelumnya. Lelaki muslim bertubuh tinggi bersuara besar yang cocok memerankan Umar ini bahkan mengatakan “setelah peran ini, saya akan sangat selektif memilih peran, dan menjadi tanggung jawab saya untuk menampilkan sosok seniman dan aktor yang baik, dan jauh dari semua yang bisa menodai pribadi Umar yang agung”.

Film Umar ini benar-benar sebuah inspirasi pasca revolusi. Saat panggung kepemimpinan negeri-negeri muslim kosong ia hadir memberi paket teladan kepemimpinan yang adil, bijaksana, toleran, dengan bobot kepahlawanan yang memanaskan adrenalin para pemuda untuk mengikuti jejak langkahnya.

Juga, ia berhasil meluruskan sekian banyak persepsi yang salah di literatur-literatur sejarah palsu sahabat yang bertebaran di pustaka umat. Seperti pertengkaran Umar dan Ali karena Ali telat membaiat Abu Bakar, atau ambisi tamak pembesar Anshar untuk kepemimpinan pasca wafat Rasulullah sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Abu Bakar karya Muhammad Husein Haikal. Semua itu tidak benar jika dirunut di buku-buku sejarah sahabat yang valid seperti Abu Bakar karya Dr. ‘Ali Muhammad as-Shallâbi. Semua diskusi dan perselisihan pendapat antar para sahabat berlangsung dengan sangat santun dan penuh ukhuwah. Dan film ini mengklarifikasi pikiran jutaan umat Islam yang tidak sempat membaca detail dan tebalnya buku-buku biografi sahabat Rasul.

Film ini memberi konteks yang benar, adil, proporsional tentang makna syûra, zuhd, qadâ dan qadar, keberanian, tujuan jihad, makna rahmatan lil ‘alamin, universalisme Islam dan banyak lagi nilai Islam yang dipresentasikan sepanjang 31 seri ini.

Dan yang terutama, film ini memberi umat Islam sebuah model kepahlawanan, bahwa kisah manusia agung seperti Umar itu bukan mitos tapi pernah ada. Lalu divisualisasi hingga nyata terasa di darah dan daging penonton. Ia menjadi model keadilan bagi umat manusia, yang di film itu tersublimasi dalam kegagapan duta resmi Kaisar Romawi dengan mata terbelalak saat menemui Umar yang sedang tidur di bawah pohon, tanpa singgasana, tanpa mahkota, tanpa pengawal istana, hanya beralas kerikil Madinah. “Semua perkataan orang-orang tentangmu sudah cukup membuatku bingung… dan sekarang keheranan itu telah berubah menjadi keyakinan, kali ini aku tidak berkata dari lidah orang lain kecuali lidahku sendiri”. Dengan tergagap ia berkata “Anta Yâ ‘Umar, ‘Adalta, Fa Aminta, Fa Nimta” [Anda wahai Umar, kau semai keadilan, maka kau merasa aman, maka kau tidur tenang].

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/08/22495/umar-film-kepahlawanan-pemuda/#ixzz250LsMidi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Just Shared on Tel-U

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading