Categories
Belajar Islam

Aturan Jual Beli Dalam Islam

Sebagai seorang muslim tentunya kita perlu berpatokan kepada Al-Quran dan Hadist sahih dalam melakukan segala sesuatunya. Kenapa? tentunya agar kita senantiasa selalu dalam petunjuk Allah dan mendapatkan kerberkahan dari setiap kegiatan yang kita lakukan.

Didalam Islam terdapat beberapa aturan dalam Jual Beli yang dicontohkan Rosulullah Muhammad SAW, karena beliau memang seorang pedagang. 

Berikut ini Hadis Serba Larangan dalam Jual Beli yang disadur dari http://pengusahamuslim.com/hadis-serba-larangan-dalam-jual-beli/

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Tidak halal menggabungkan utang dengan jual beli, tidak pula dua syarat dalam jual beli, tidak pula keuntungan tanpa ada pengorbanan, dan tidak pula menjual barang yang tidak kamu miliki. (HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam hadis yang ringkas ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan dalam sistem transaksi jual beli manusia, yang tentu saja transaksi itu ada di masa silam.

Empat larangan yang beliau sebutkan,

  1. Tidak boleh menggabungkan utang dengan jual beli
  2. Tidak boleh ada 2 syarat dalam jual beli
  3. Tidak boleh mengambil keuntungan tanpa ada usaha dan pengorbanan
  4. Tidak boleh menjual barang yang tidak dimiliki..

Kita akan kupas lebih rinci, makna dan cakupan setiap bentuk transaksi yang dilarang Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pertama, Tidak boleh menggabungkan utang dengan jual beli

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak halal menggabungkan salaf (utang) dengan jual beli.”

Ada dua bentuk penggunaan untuk kata salaf dalam bahasa arab, pertama untuk menyebut utang dan kedua untuk menyebut jual beli salam.

Kata salaf dalam hadis ini maknanya adalah utang. Sebegaimana keterangan al-Baghawi (Nailul Authar, 5/213).

Dalam Syarh Turmudzi, disebutkan keterangan Imam Ahmad,

قال إسحاق بن منصور: قلت لأحمد: ما معنى نهى عن سلف وبيع؟ قال: أن يكون يقرضه قرضاً ثم يبايعه بيعاً يزداد عليه. ويحتمل أن يكون يسلف إليه في شيء فيقول: إن لم يتهيأ عندك فهو بيع عليك

Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad,

“Apa makna laragan beliau, menggabungkan utang dengan jual beli?”

Jawab Imam Ahmad,

“Bentuknya, si A memberi utang kepada si B, kemudian mereka melakukan transaksi jual beli sebagai syarat tambahannya. Bisa juga bentuknya, si A mengutangi si B, lalu ketika menagih, dia mengatakan, “Kalau tidak bisa melunasi sekarang, kamu wajib jual barangmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/361)

Berdasarkan keterangan Imam Ahmad, makna hadis ini mencakup dua hal,

Pertama, berutang dan disyaratkan sekaligus melakukan jual beli yang bisa jadi harganya tidak standar.

Misalnya, si A berutang ke si B. dan si B bersedia memberi bantuan dana kepada si A, dengan syarat si A harus melepas tanahnya untuk dibeli si B.

Kedua, si A berutang ke si B. ketika jatuh tempo, si B menagih dan meminta, “Jika kamu tidak punya uang untuk melunasi, barangmu ini saya beli.”

Illah Larangan Menggabungkan Utang dengan Jual Beli

Apa yang menjadi latar belakang larangan utang dan jual beli.

Ini kembali kepada kaidah baku tentang riba, sebagaimana yang dinyatakan Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَـهُوَ رِبًا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” (HR. Baihaqi).

Yang terjadi, ketika seseorang mempersyaratkan adanya jual beli untuk transaksi utang piutang, pihak kreditor akan mengambil keuntungan dari utang yang dia berikan, minimal dalam bentuk terlaksananya akad jual beli.

Dalam kondisi normal, orang tidak akan bersedia ketika dirinya dikendalikan orang lain dalam melakukan transaksi. Dia memiliki kebebasan untuk menjual atau mempertahankan barangnya. Sehingga ketika ini dilakukan, kemungkinan besar karena pengaruh utang yang diberikan. Inilah keuntungan di balik utang.

Syaikh Athiyah Muhammad Salim mengatakan,

العلة في النهي عن جمع البيع مع السلف، وأنه يدور حول مظنة الربا، سواء كان البيع من المسلف أو كان البيع من المتسلف

Illah larangan menggabungkan jual beli dengan utang, terkait kemungkinan adanya riba. Baik barang itu milik kreditor maupun milik debitor. (Syarh Kitab al-Buyu: http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=134909)

Berlaku untuk Semua Transaksi Komersial

Ada transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, dst. Para ulama menyebutnya transaksimuawwadhat. Dan ada transaksi yang bertujuan memberikan bantuan, kepentingan sosial. Para ulama menyebutnya transaksi tabarru’at.

Islam memotivasi umatnya, agar dalam transaksi tabarru’at, semangat yang ditekankan adalah membantu orang lain. Islam juga melarang umatnya untuk memancing di air keruh. Memanfaatkan suasana musibah yang dialami saudaranya.

Karena itulah, para ulama menyebutkan bahwa kasus yang disebutkan dalam hadis di atas, tidak hanya terbatas untuk skema jual beli dan utang. Tapi berlaku meluas untuk setiap transaksi muawwadhat dan transaksi tabarru’at. Jual beli mewakili transaksi muawwadhat, sementara utang piutang mewakili transaksitabarru’at.

Terdapat kaidah,

لا يجمع بين معاوضة وتبرع

“Tidak boleh digabungkan antara transaksi komersial dengan transaksi sosial.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, 10/962 – Syarh Bulughul Maram, Kitab Buyu’, Jami’ Syaikhul Islam, hlm. 47).

Berasarkan kaidah di atas,

Tidak boleh menggabungkan utang dengan sewa-menyewa,

Tidak boleh menggabungkan utang dengan penanaman modal (mudharabah).

 

Kita beralih pada kajian tentang larangan yang kedua, tidak boleh ada 2 syarat dalam jual beli.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ

“Tidak boleh ada dua syarat dalam jual beli.” (HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

A.-Atsram menceritakan, ada orang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Banyak orang tidak mau ada syarat dalam jual beli. Bagaimana pendapat anda?”

Jawab beliau,

الشرط الواحد لا بأس به في البيع ، إنما نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن شرطين في البيع

Satu syarat tidak jadi masalah dalam jual beli. Yang dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua syarat dalam jual beli. (al-Mughni, 4/156).

Diantara dalil boleh adanya syarat tambahan dalam jual beli adalah transaksi yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli ontanya.

Kita simak hadisnya,

Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita,

Saya pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, onta yang saya naiki jalannya lambat, selalu ketinggalan rombongan. Hingga aku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ada apa dengan ontamu?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Jalannya lambat.” Jawabku.

“Kamu punya tongkat?” “Berikan kepadaku.” Pinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku berikan sebuah tongkat, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul ontaku sambil membentaknya. Seketika itu dia berlari, hingga bisa berada di depan rombongan.

“Jual onta itu kepadaku seharga 4 dinar, boleh?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tidak perlu beli Ya Rasulullah, saya hibahkan untuk anda.”

“Jual onta itu, saya beli.” pinta Nabi.

Lalu kata Jabir,

فَبِعْتُهُ مِنْهُ بِخَمْسِ أَوَاقٍ عَلَى أَنَّ لِى ظَهْرَهُ إِلَى الْمَدِينَةِ

“Aku jual onta itu seharga 5 uqiyah, dengan syarat aku boleh menaikinya sampai Madinah.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَكَ ظَهْرُهُ إِلَى الْمَدِينَةِ

“Kamu punya hak untuk menaikinya sampai Madinah.” (HR. Bukhari 2309 & Muslim 4187)

Dalam hadis ini, Jabir mengajukan syarat ketika menjual ontanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan syarat itu disetujui oleh beliau.

 

Macam-macam Syarat dalam Jual Beli

Apa yang dimaksud 2 syarat dalam jual beli? untuk memahami itu, kita perlu merinci macam-macam syarat dalam jual beli,

Pertama, syarat yang merupakan bagian dari konsekuensi akad

Seperti, serah terima uang dan barang, adanya khiyar majlis, adanya kejelasan barang, dst.

Ulama sepakat dibolehkan memberikan syarat semacam ini tanpa batas, boleh dengan jumlah berapapun.

Artinya, syarat semacam ini berlaku, baik disebutkan di akad maupun tidak.

Ibnu Qudamah mengatakan,

إن شرط ما يقتضيه العقد لا يؤثر فيه بغير خلاف

“Sesungguhnya syarat yang menjadi konsekuensi akad, tanpa ada perbedaan pendapat ulama. (al-Mughni, 4/308)

Kedua, syarat yang bukan bagian dari konsekuensi akad, namun untuk kesempurnaan akad

Seperti pembayaran tertunda, adanya khiyar selama 3 hari, ada jaminan, atau syarat saksi. Ini dibolehkan dengan sepakat ulama, meskipun lebih dari satu.

Ibnu Qudamah mengatakan,

وشرط ما هو من مصلحة العقد ، كالأجل ، والخيار ، والرهن ، والضمين ، وشرط صفة في المبيع ، كالكتابة ، والصناعة ، فيه مصلحة العقد ، فلا ينبغي أن يؤثر أيضا في بطلانه

Syarat yang posisinya untuk kesempurnaan akad, seperti penundaan pembayaran, hak khiyar ditambah, gadai, penjamin, syarat kriteria tertentu pada barang, atau syarat dicatat, atau diproduksi dengan model tertentu, yang itu untuk kepentingan akad. Semacam ini seharusya tidak membatalkan. (sehingga termasuk dibolehkan dengan sepakat ulama). (al-Mughni, 4/308)

Ketiga, syarat yang tidak ada hubungannya dengan konsekuensi akad dan tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan dan kesempurnaan akad.

Inilah bagian syarat yang diperselisihkan ulama. Berikut rinciannya,

Pendapat pertama, tidak boleh ada 2 syarat dalam jua beli. Jika ini terjadi, maka jual belinya batal.

Ini adalah madzhab hanafiyah, salah satu pendapat Syafiiyah, dan madzhab hambali menurut riwayat yang masyhur. Bahkan sebagian ulama mengatakan, sepakat dilarang. (Nailul Authar, 5/242).

Pendapat kedua, akad jual beli tetap sah, namun syaratnya batal, tidak berlaku. Ini merupakan salah satu pendapat Ahmad, sebagaimana keterangan al-Mardawi dalam al-inshaf (4/251).

Pendapat ketiga, jual beli sah dan syaratnya juga dan berlaku. Bahkan meskipun lebih dari dua syarat. Selama bukan syarat yang haram. Pendapat Ini merupakan salah riwayat dari Imam Ahmad, dan yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim.

Al-Mardawi mengatakan,

روى عن الإمام أحمد رحمه الله تعالى أنه فسر الشرطين المنهي عنهما بشرطين فاسدين

Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau menafsirkan dua syarat yang dilarang ini dengan dua syarat yang terlarang. (al-Inshaf, 4/251).

Ketika Syaikhul Islam berbicara masalah syarat, beliau mengatakan,

أما إذا لم يشتمل على واحد منهما إذا لم يكن لغوا ولا اشتمل على ما حرمه الله ورسوله فلا وجه لتحريمه، بل الواجب حله ؛ لأنه عمل مقصود للناس يحتاجون إليه

Jika syarat itu tidak mengandung salah satu dari pelanggaran itu, (melangggar konsekuensi akad dan melanggar aturan Allah), bukan syarat yang dianggap tidak sah dan tidak mengandung apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Bahkan wajib dihalalkan. Karena ini termasuk praktek yang menjadi tujuan manusia, yang mereka butuhkan. (al-Fatawa al-Kubro, 4/94).

Tarjih

Semua pendapat yang melarang adanya dua syarat dalam jual beli, beralasan dengan makna dzahir dari hadis di atas. Dan berdalil dengan makna dzahir hadis ini tidak diterima, karena makna nya diperselisihkan. Sementara terdapat kaidah mengatakan,

إذا تَطرَّق إليه الاحتمال، سقط به الإستدلال

Jika ada kemungkinan makna, maka gugur untuk digunakan dalil.

Dalilnya shahih, namun menggunakan dalil ini untuk menghukumi, tidak boleh ada dua syarat apapun dalam jual beli, adalah pendalilan yang tidak tepat. Mengingat banyak dalil lain yang menunjukkan bolehnya menetapkan banyak syarat dalam jual beli.

Diantaranya,

[1] firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. al-Maidah: 1)

Artinya, setiap akad yang halal, tidak mengandung unsur larangan, wajib ditepati. Sekalipun berisi banyak syarat.

[2] hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Kaum muslimin harus memenuhi setiap syarat yang ditetapkan untuk mereka. (HR. Abu Daud 3596, Daruquthni 2929 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini menunjukka bahwa hukum asal setiap syarat, wajib dipenuhi seorang muslim. Tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali berdasarkan dalil.

[3] hukum asal dalam muamalah adalah sah dan mubah. Dan ini mencakup baik akadnya maupun syaratnya. Selama tidak ada dalil yang melarang.

Syaikhul Islam mengatakan,

إن العقود والشروط من باب الأفعال العادية. والأصل فيها عدم التحريم، فيستصحب عدم التحريم فيها حتى يدل دليل على التحريم

Bahwa semua bentuk akad dan syarat, termasuk bagian dari adat, yang hukum asalnya tidak haram. Sehingga dipertahankan hukum tidak haram, sampai terdapat dalil yang menunjukkan bahwa itu haram.. (Majmu’ al-Fatawa, 29/150).

[4] sebagian ulama menafsirkan hadis ini dengan syarat yang batal (syarat fasid). Diantaranya al-Khithabi. Beliau mengatakan,

وأما ما يفسد البيع من الشروط فهو كل شرط يدخل الثمن في حد الجهالة أو يوقع في العقد أو في تسليم المبيع غرراً أو يمنع المشتري من اقتضاء حق الملك من المبيع

Syarat yang membatalkan jual beli adalah semua syarat yang dampaknya membuat harga tidak jelas, atau ada unsur gharar (tidak jelas) dalam akad atau penyerahan barang, atau syarat yang menghalangi pembeli untuk memanfaatkan hak milik dari barang. (Ma’alim as-Sunan, 3/42).

Keterangan yang disebutkan al-Khithabi, seperti jual beli kredit tapi jatub temponya tidak jelas. Atau disyaratkan jika dia beli maka harus dijual kembali ke dia (jual beli inah), dst.

Ada juga yang menafsirkan bahwa makna larangan dua syarat dalam hadis ini adalah bai’ inah, sebagaimana keterangan Ibnul Qoyim. (Tahdzib as-Sunan, 5/146).

 

Kita lanjutkan untuk membahas larangan yang ketiga, tidak boleh mengambil keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ

“Tidak boleh mendapat keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.” (HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Anjuran Mendapat Keuntungan ketika Jual Beli

Mendapatkan keuntungan dalam jual beli, hukum asalnya dibolehkan. Bahkan setiap pedagang dimotivasi untuk mendapat keberkahan dalam aktivitas bisnisnya. Diantara bentuk keberkahan itu adalah mendapat keuntungan.

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (HR. Bukhari 2079 dan Muslim 1532).

Adanya larangan untuk mengambil keuntungan berarti pengecualian. Keluar dari hukum asal. Sehingga ini sifatnya terbatas, karena termasuk pengecualian.

Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang pelaku bisnis mengambil keuntungan, ketika keuntungan itu tidak diimbangi dengan adanya dhiman (resiko kerugian).

Sehingga, di sini sifatnya pengecualian. Karena bertentangan dengan hukum asal dalam bisnis, yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan.

Pertama, apa itu dhiman?

تحمل تبعة الهلاك والتعيّب

“Tanggungan karena resiko kerusakan dan cacat pada barang.”

Sehingga makna keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian berarti mengambil keuntungan dalam jual beli, sebelum dia di posisi menanggung resiko kerusakan atau cacat barang.

Kedua, mengambil keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian, dalam hadis ini dilarang oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga jual belinya tidak sah. Dan larangan ini hakekatnya adalah melindungi hak konsumen maupun pedagang. Dengan cara ini, akan mennutup setiap celah terjadinya sengketa antara penjual dan pembeli.

Ibnul Qoyim mengatakan,

والنهي عن ربح ما لم يضمن قد أشكل على بعض الفقهاء علته وهو من محاسن الشريعة

Larangan mengambil keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian, sebagian ulama kesulitan mengalami illahnya. Padahal ini bagian dari kesempurnaan kebaikan syariat. (Hasyiyah ‘ala Aunil Ma’bud, Ibnul Qoyim, 9/298).

Ketiga, bentuk-bentuk mengambil keuntungan tanpa menanggung resiko rugi

[1] Jual beli makanan sebelum terjadi serah terima

Ulama sepakat jual beli ini dilarang. Berdasarkan keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Siapa yang membeli makanan, janganlah dia menjualnya sampai dia terima.” (HR. Bukhari 2133 & Muslim 3915).

Imam Turmudzi membawakan keterangan dari Ishaq bin Rahuyah,

قال إسحاق بن راهويه: قلت لأحمد وعن بيع ما لم تضمن قال لا يكون عندى إلا فى الطعام ما لم تقبض

Ishaq bin Rahuyah pernah mengatakan,

“Saya bertanya kepada Ahmad tentang menjual barang tanpa menanggung resiko rugi? Jawab beliau, “Hadis ini tidak berlaku selain untuk jual beli makanan yang belum diserah terimakan.” (Sunan at-Turmudzi, 5/140).

[2] Jual beli barang selain makanan sebelum  terjadi serah terima.

Ulama berbeda pendapat, apakah larangan dalam hadis ini berlaku untuk semua makanan ataukah tidak.

Pendapat pertama, ini berlaku untuk jual beli barang yang memungkinkan untuk diserah-terimakan dengan cara taufiyah. Yang dimaksud taufiyah, barang yang dibeli telah ditimbang atau ditakar, sehingga memungkinkan bagi pembeli untuk menerimanya.

Dalilnya adalah keterangan dalam hadis lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli makanan sebelum diserah-terimakan. Yang itu dipahami, bahwa selain makanan tidak berlaku hukum di atas.

Dan alasan mengapa makanan dilarang dalam hal ini, karena makanan tidak mungkin bisa di-serah-terimakan sebelum ditakar.

Sanggahan:

Cara pendalilan ini kurang tepat. Karena penyebutan makanan di hadis, bukan pembatasan hukum. Namun karena transaksi makanan itu yang paling dominan di waktu itu. Bahkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumasendiri menegaskan bahwa itu tidak hanya berlaku untuk makanan.

Ibnu Abbas ketika meriwayatkan hadis larangan menjual makanan sebelum di-serah-terima-kan, beliau mengatakan,

وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Saya menduga, semua barang sama seperti makanan.” (HR. Muslim 3915 & Ahmad 2482)

Pendapat kedua, bahwa larangan ini berlaku untuk semua barang dagangan.

Mereka beralasan dengan riwayat Ibnu Abbas di atas.

Disamping itu, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum.

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang barang dagangan dijual di tempat dia dibeli, sampai pedagang memindahkanya ke tempat mereka. (HR. Abu Daud 3501 dan dihasankan al-Albani)

Dan insyaaAllah pendapat kedua ini yang lebih kuat.

Kapan Tanggung Jawab Dhiman Berpindah ke Pembeli?

Ada dua pendapat dalam hal ini,

Pertama, tanggung jawab resiko barang berpindah sejak terjadi qabdh (serah terima). Sebelum serah terima, tanggung jawab resiko barang ada di tangan penjual.

Kedua,  tanggung jawab resiko barang berpindah ketika sudah tamakkun min al-qabdh, memungkinkan untuk diserah terimakan. Jika barang sudah memungkinkan untuk diambil, sementara pembeli tidak mengambilnya, maka resiko bukan tanggung jawab penjual. Hanya saja, barang tidak boleh dijual sebelum terjadi serah terima.

Ini pendapat Imam Ibnu Utsaimin.

Hikmah Larangan Mengambil Keuntungan Tanpa Menanggung Resiko Rugi

[1] Mewujudkan keadilan. Karena islam adalah agama yang mengajarkan sikap adil. Dan termasuk kedzaliman ketika tanggung jawab resiko kerugian ada di tangan seseorang, sementara keuntungannya dimiliki orang lain.

[2] Mengambil keuntungan tanpa ada resiko kerugian, mirip dengan riba. Sehingga larangan ini, hakekatnya menutup celah terjadinya riba. Dan ciri khas riba, adanya keuntungan tanpa resiko rugi. Sementara jual beli tanpa ada resiko rugi, jadinya hanya kamuflase.  Tujuan utamanya bukan barang.

[3] Jual beli dengan tanpa memperhatikan serah terima, memungkinkan seseorang untuk melakukan trading virtual. Seperti Futures Contract.. barang bukan tujuan utama transaksi. Semua diwakili surat virtual. Memungkinkan orang rugi besar atau untung besar dalam waktu yang sangat singkat.

Praktek Mengambil Keuntungan Tanpa Resiko Rugi

Pertama, Murabahah bank syariah

Salah satu skema bank syariah dalam pembiayaan  adalah murabahah lil amir bis syira.

Ketika ada nasabah yang membutuhkan rumah atau kendaraan, nasabah melakukan transaksi dengan bank. Nasabah diminta bayar DP 10% atau tergantung kesepakatan. Sampai titik ini, rumah masih atau kendaraan masih menjadi milik penjual. Kemudian bank melakukan pembelian secara tunai ke penjual, selanjutnya nasabah membayar cicilan dengan harga yang disepakati.

Yang bisa kita pastikan, bank sama sekali tidak memiliki rumah atau kendaraan itu ketia dia menjualnya. Ataupun kalau dia telah membelinya, kendaraan tidak dipindahkan ke bank baru dijual ke nasabah, tapi kendaraan langsung dikirim dari dealer ke nasabah setelah dilunasi bank. Sehingga resiko barang, hannya berlaku di pihak dealer dan nasabah. Bank sama sekali lepas tangan.

Sementara bank mendapatkan keuntungan dengan jumlah cicilan yang melebihi harga barang.

Dalam kasus ini, transaksi yang dilakukan bank hukumnya terlarang, karena,

Pertama, bank menjual barang yang bukan miliknya

Kedua, bank mendapatkan keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian sama sekali.

Ketiga, mengarah pada kamuflase jual beli. yang itu merupakan pengelabuhan terhadap transaksi riba.

Kedua, Futures Contract

Ini perdagangan dunia maya yang marak terjadi. Tujuan pemeran perdagangan sama sekali bukan untuk jual beli barang, bukan untuk mendapatkan barang. Semua diwakili surat berharga. Orang beli crude oil (minyak mentah) sekian barel, dia sama sekali tidak pernah melihat barangnya.

Ada juga yang membeli emas sekian gram, hanya diberi surat berharga tanda kepemilikan.

Komoditas bisa dijual belikan mengikuti perkembangan harga. Sehingga tujuan utama trading ini bukan barang, tapi uang.

Kita bisa lihat, ada pemain yang untung besar dan tak jarang yang langsung bangkrut.

Allahu a’lam.

Referensi:

  • Artikel: [ربح ما لم يضمن] https://uqu.edu.sa/page/ar/93223749
  • Resensi Disertasi: [ربح ما لم يُضمَن: دراسة تأصيليّة تطبيقيّة] http://fiqh.islammessage.com/NewsDetails.aspx?id=3894

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Aturan Jual Beli Dalam Islam

 

sumber video https://www.facebook.com/shanghaiist/videos/10153777003976030/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Just Shared on Tel-U

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading