Categories
Belajar Islam Blogs

Alhamdulillah, usaha tidak mengkhianati hasil. Apakah betul?

“Aku mendapatkan harta ini karena jerih payahku, berkat kerja kerasku selama ini”

“Alhamdulillah, usaha tidak mengkhianati hasil”

Kata-kata tersebut sering kita dengar, malah mungkin kita ucapkan sebagai bentuk kepuasan, atau bentuk syukur kita.

Namun tahukah, bahwa menisbatkan nikmat Allah sebagai nikmat atas usaha kita sendiri, dapat mengantarkan kita pada pada kesyirikan dalam tauhid rububiyah?

Atau menisbatkan nikmat tersebut kepada Allah tetapi menyangka bahwa kita adalah orang yang berhak untuk mendapatkan nikmat karena ilmu dan usaha kita, justru mengantarkan kita pada kecongkakan dan kesombongan?

sifat sombong, ujub, bangga pada kemampuan diri

Firman Allah:

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ رَحْمَةً مِّنَّا مِن بَعْدِ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ هَٰذَا لِي

Dan jika kami melimpahkan kepadanya sesuatu rahmat dari kami, sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata “ini adalah hakku.” (QS. Fushshilat: 50).

Dalam menafsirkan ayat ini Mujahid mengatakan: “Ini adalah karena jerih payahku, dan akulah yang berhak memilikinya.”

Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan: “Ini adalah dari diriku sendiri”.

Firman Allah:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي

“(Qarun) berkata: sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al Qashash: 78)

Qotadah -dalam menafsirkan ayat ini- mengatakan: “Maksudnya: karena ilmu pengetahuanku tentang cara cara berusaha.”

Ahli tafsir lainnya mengatakan: “Karena Allah mengetahui bahwa aku orang yang layak menerima harta kekayaan itu”, dan inilah makna yang dimaksudkan oleh Mujahid: “Aku diberi harta kekayaan ini atas kemulianku.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ ثَلاَثَةً مِنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ: أَبْرَصَ وَأَقْرَعَ وَأَعْمَى، فَأَرَادَ اللهُ أَنْ يَبْتَلِيَهُمْ، فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مَلَكًا، فَأَتَى الأَبْرَصَ، فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: لَوْنٌ حَسَنٌ، وَجِلْدٌ حَسَنٌ، وَيَذْهَبُ عَنِّيْ الَّذِيْ قَذَرَنِي النَّاسُ بِهِ، قَالَ: فَمَسَحَهُ، فَذَهَبَ عَنْهُ قَذَرُهُ، فَأُعْطِيَ لَوْنًا حَسَنًا وَجِلْدًا حَسَنًا، قَالَ: فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: الإِبِلُ أَوْ البَقَرُ – شك إسحاق – فَأُعْطِيَ نَاقَةً عَشْرَاءَ، فَقَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِيْهَا، قَالَ: فَأَتَى الأَقْرَعَ، فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: شَعْرٌ حَسَنٌ، وَيَذْهَبُ عَنِّيْ الَّذِيْ قَذَرَنِي النَّاسُ بِهِ، فَمَسَحَهُ فَذَهَبَ عَنْهُ قَذَرُهُ، وَأُعْطِيَ شَعْرًا حَسَنًا، فَقَالَ: أَيُّ المَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: البَقَرُ أَوْ الإِبِلُ، فَأُعْطِيَ بَقَرَةً حَامِلاً، قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فَيْهَا، فَأَتَى الأَعْمَى، فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: أَنْ يَرُدَّ اللهُ إِلَيَّ بَصَرِيْ فَأُبْصِرُ بِهِ النَّاسَ، فَمَسَحَهُ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ بَصَرَهُ، قَالَ: فَأَيُّ المَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: الغَنَمُ، فَأُعْطِيَ شَاةً وَالِدًا، فَأَنْتَجَ هَذَانِ وَوَلَدَ هَذَا، فَكَانَ لِهَذَا وَادٍ مِنَ الإِبِلِ، وَلِهَذَا وَادٍ مِنَ البَقَرِ وَلِهَذَا وَادٍ مِنَ الغَنَمِ

“Sesungguhnya ada tiga orang dari bani Israil, yaitu: penderita penyakit kusta, orang berkepala botak, dan orang buta. Kemudian Allah ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.

Maka datanglah malaikat itu kepada orang pertama yang menderita penyakit kusta dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab: “Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan penyakit yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku”. Maka diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah ia rupa yang bagus, kulit yang indah, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?”, ia menjawab: “onta atau sapi”, maka diberilah ia seekor onta yang sedang bunting, dan iapun didoakan: “Semoga Allah memberikan berkah-Nya kepadamu dengan onta ini.”

Kemudian Malaikat tadi mendatangi orang kepalanya botak, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab: “Rambut yang indah, dan apa yang menjijikkan di kepalaku ini hilang”, maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah, kemudian malaikat tadi bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang kamu senangi?”. ia menjawab: “sapi atau onta”, maka diberilah ia seekor sapi yang sedang bunting, seraya didoakan: “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.”

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang buta, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, ia menjawab: “Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang”, maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang paling kamu senangi?”, ia menjawab: “kambing”, maka diberilah ia seekor kambing yang sedang bunting.

Lalu berkembang biaklah onta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.

Sabda nabi berikutnya:

ثُمَّ إِنَّهُ أَتَى الأَبْرَصَ فِيْ صُوْرَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، قَالَ: رَجُلٌ مِسْكِيْنٌ قَدِ انْقَطَعَتْ بِيْ الحِبَالُ فِيْ سَفَرِيْ، فَلاَ بَلاَغَ لِيْ اليَوْمَ إِلاَّ بِاللهِ ثُمَّ بِكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذِيْ أَعْطَاكَ اللَّوْنَ الحَسَنَ وَالجِلْدَ الحَسَنَ وَالْمَالَ، بَعِيْرًا أَتَبَلَّغُ بِهِ فِيْ سَفَرِيْ، فَقَالَ: الحُقُوْقُ كَثِيْرَةٌ، فَقَالَ لَهُ: كَأَنِّيْ أَعْرِفُكَ! أَلَمْ تَكُنْ أَبْرَصَ يَقْذِرُكَ النَّاسُ، فَقِيْرًا فَأَعْطَاكَ اللهُ المَالَ؟ فَقَالَ: إِنَّمَا وَرِثْتُ هَذَا المَالَ كَابِرًا عَنْ كَابِرٍ، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَصَيَّرَكَ اللهُ إِلَى مَا كُنْتَ. قَالَ: وَأَتَى الأَقْرَعَ فِيْ صُوْرَتِهِ، فَقَالَ لَهُ: مِثْلَ مَا قَالَ لِهَذَا، وَرَدَّ عَلَيْهِ مِثْلَ مَا رَدَّ عَلَيْهِ هَذَا، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَصَيَّرَكَ اللهُ إِلَى مَا كُنْتَ. قَالَ: وَأَتَى الأَعْمَى فِيْ صُوْرَتِهِ فَقَالَ: رَجُلٌ مِسْكِيْنٌ وَابْنُ سَبِيْلٍ قَدِ انْقَطَعَتْ بِيْ الحِبَالُ فِيْ سَفَرِيْ، فَلاَ بَلاَغَ لِيْ اليَوْمَ إِلاَّ بِاللهِ ثُمَّ بِكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذِيْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ شَاةً أَتَبَلَّغُ بِهَا فِيْ سَفَرِيْ، فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أَعْمَى فَرَدَّ اللهُ إِلَيَّ بَصَرِيْ، فَخُذْ مَا شِئْتَ، وَدَعْ مَا شِئْتَ، فَوَاللهِ لاَ أَجْهَدُكَ الْيَوْمَ بِشَيْءٍ أَخَذْتَهُ لِلَّهِ، فَقَالَ: أَمْسِكْ مَالَكَ، فَإِنَّمَا ابْتُلِيْتُمْ، فَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنْكَ وَسَخِطَ عَلَى صَاحِبَيْكَ

Kemudian datanglah malaikat itu kepada orang yang sebelumnya menderita penyakit kusta, dengan menyerupai dirinya di saat ia masih dalam keadaan berpenyakit kusta, dan berkata kepadanya: “Aku seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan yang banyak ini, aku minta kepada anda satu ekor onta saja untuk bekal meneruskan perjalananku”, tetapi permintaan ini ditolak dan dijawab: “Hak hak (tanggunganku) masih banyak”, kemudian malaikat tadi berkata kepadanya: “Sepertinya aku pernah mengenal anda, bukankah anda ini dulu orang yang menderita penyakit lepra, yang mana orangpun sangat jijik melihat anda, lagi pula anda orang yang miskin, kemudian Allah memberikan kepada anda harta kekayaan? Dia malah menjawab: “Harta kekayaan ini warisan dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat”, maka malaikat tadi berkata kepadanya: “jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda kepada keadaan anda semula”.

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak, dengan menyerupai dirinya di saat masih botak, dan berkata kepadanya sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakit lepra, serta ditolaknya pula permintaannya sebagaimana ia ditolak oleh orang yang pertama. Maka malaikat itu berkata: “jika anda berkata bohong niscaya Allah akan mengembalikan anda seperti keadaan semula.”

Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta, dengan menyerupai keadaannya dulu di saat ia masih buta, dan berkata kepadanya: “Aku adalah orang yang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku”. Maka orang itu menjawab: “Sungguh aku dulunya buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang anda sukai, dan tinggalkan apa yang tidak anda sukai. Demi Allah, saya tidak akan mempersulit anda dengan mengembalikan sesuatu yang telah anda ambil karena Allah”. Maka malaikat tadi berkata: “Tahanlah harta kekayaan anda, karena sesungguhnya engkau ini hanya diuji oleh Allah, Allah telah ridha kepada anda, dan murka kepada kedua teman anda.” (HR. Bukhari: 3464, Muslim: 2964)

Kandungan bab ini:

  1. Penjelasan tentang ayat di atas.
  2. Pengertian firman Allah: “… Pastilah ia berkata: ini adalah hakku”.
  3. Pengertian firman Allah: “Sesungguhnya aku diberi kekayaan ini tiada lain karena ilmu yang ada padaku.”
  4. Kisah menarik, sebagaimana yang terkandung dalam hadits ini, memuat pelajaran-pelajaran yang berharga dalam kehidupan ini.

==================================

Munasabah bab dengan Kitabut Tauhid

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: Seorang apabila menisbatkan kenikmatan kepada perbuatan dan usahanya, maka ini satu bentuk kesyirikan dalam tauhid rububiyah. Dan apabila dia menisbatkan nikmat tersebut kepada Allah akan tetapi ia menyangka bahwa dia adalah orang yang berhak untuk mendapatkan nikmat tersebut, apa yang diberikan oleh Allah kepadanya bukan murni kebaikan Allah namun karena dia memang ahli, maka ini satu bentuk kecongkakan dan kesombongan dalam tauhid ibadah. (Al-Qaulul Mufid: 2/280)

Menjadikan manusia tidak bersyukur adalah misi utama Iblis

Hal ini dapat kita baca di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman menghikayatkan ucapan Iblis ketika ia dilaknat dan diusir dari surga:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ، ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 16-17)

Wanita adalah pihak yang paling banyak terkena makar Iblis ini. Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa kebanyakan penduduk nereka itu adalah wanita, karena mereka banyak yang tidak pandai bersyukur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنِّي رَأَيْتُ الْجَنَّةَ أَوْ أُرِيتُ الْجَنَّةَ فَتَنَاوَلْتُ مِنْهَا عُنْقُودًا وَلَوْ أَخَذْتُهُ لَأَكَلْتُمْ مِنْهُ مَا بَقِيَتْ الدُّنْيَا وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ قَالُوا لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُفْرِهِنَّ قِيلَ يَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Sesungguhnya aku melihat surga -atau- surga telah diperlihatkan padaku, lalu aku pun hendak mengambil seranting darinya, sekiranya kau dapat mengambilnya niscaya kalian akan memakannya selama dunia masih ada. Kemudian aku melihat neraka, maka aku tidak pernah melihat pemandangan seperti yang terjadi pada hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.” Mereka bertanya lagi, “Kenapa wahai Rasulullah.” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Para sahabat bertanya lagi, “Apakah lantaran kekafiran mereka kepada Allah?” beliau menjawab: “Mereka mengkufuri perlakuan dan kebaikan suaminya. Sekiranya kamu berbuat baik kepada salah seorang dari mereka selama setahun penuh, lalu ia melihat sesuatu yang tidak baik darimu, ia pun akan berkata, ‘Aku tidak melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Bukhari: 5197)

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Aku telah mengikuti shalat hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memulainya dengan shalat sebelum menyampaikan khutbah, tanpa disertai adzan dan Iqamah. Setelah itu beliau berdiri sambil bersandar pada tangan Bilal. Kemudian beliau memerintahkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan memberikan anjuran untuk selalu mentaati-nya. Beliau juga memberikan nasehat kepada manusia dan mengingatkan mereka. Setelah itu, beliau berlalu hingga sampai di tempat kaum wanita. Beliau pun memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Beliau bersabda:

تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتْ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahannam.” Maka berdirilah seorang wanita terbaik di antara mereka dengan wajah pucat seraya bertanya, “Kenapa ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Karena kalian lebih banyak mengadu (mengeluh) dan mengingkari kelebihan dan kebaikan suami.” Akhirnya mereka pun menyedekahkan perhiasan yang mereka miliki dengan melemparkannya ke dalam kain yang dihamparkan Bilal, termasuk cincin dan kalung-kalung mereka. (HR. Muslim: 885)

Tidak berterima kasih kepada suami dan mudah melupakan kebaikannya. Sedangkan seorang yang tidak berterima kasih kepada manusia adalah orang orang tidak pandai bersyukur kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud: 4811)

Pelajaran dari kisah tiga orang yang diuji

– Kelapangan dan kekayaan adalah ujian

Dalam kehidupan dunia ini kita tidak terlepas dari ujian. Kondisi sempit dan lapang, miskin dan kaya, semuanya ujian. Allah berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Allah menguji kita dengan kejelekan dan kebaikan, gembira dan sedih, sehat dan sakit, kaya dan miskin, halal dan haram, taat dan maksiat, petunjuk dan kesesatan.”

Satu hal yang harus kita tekankan bahwa kelapangan dan kekayaan juga adalah ujian. Karena banyak orang yang mengira bahwa ujian itu hanya miskin, sakit, sempit, dst. Makanya Allah membantah keyakinan seperti ini. Allah berfirman:

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ، وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ، كَلَّا

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak demikian. (QS. Al-Fajr: 15-17)

Dan yang dapat memahami hal ini hanyalah orang-orang yang berilmu, seperti Nabi Sulaiman alaihissalam yang dihikayatkan oleh Allah dalam firman-Nya:

قَالَ هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ

Dia (Sulaiman) berkata, Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). (QS. Al-Naml: 40)

– Ujian kelapangan dan kekayaan lebih berat

Dari tiga orang hanya satu yang selamat dari ujian kelapangan dan kekayaan ini. Maka jika kita pernah mendengar ucapan bahwa ujian kekayaan itu lebih berat daripada ujian kemiskinan, maka itu benar adanya. Mari kita perhatikan pula hadits berikut ini, dari Usamah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ

Aku berdiri di pintu surga, maka aku pun menyaksikan bahwa kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin.” (HR. Bukhari: 5196, Muslim: 2736)

Hadits ini menunjukkan keutamaan orang-orang miskin bahwa yang paling banyak selamat dari fitnah kehidupan dunia adalah mereka. Sebaliknya, orang-orang kaya sangat sedikit yang dapat selamat dengan ujian mereka Berarti ini juga menunjukkan bahwa ujian kekayaan dan kelapangan lebih berat daripada ujian kemiskinan dan kesempitan. Pantaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُلْهِيَكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ

Demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba, lalu dunia itu membinasakan kalian seperti halnya mereka binasa. (HR. Bukhari: 6425, Muslim: 2961)

Mengapa orang kaya banyak yang masuk neraka? Sebabnya adalah sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain, bukan karena hartanya itu. Orang-orang kaya, berkedudukan, dan memiliki kekuasaan adalah mereka yang sangat rentan terjangkit penyakit ini karena pemicunya itu ada pada diri mereka. Dari sini pula kita dapat memahami bahwa mengapa kebanyakan penduduk surga adalah orang-orang miskin dan lemah? Karena mereka adalah orang-orang yang lebih selamat dari sifat sombong karena pemicunya tidak ada atau mungkin kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاس

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya laki-laki menyukai baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim: 91)

Cara mensyukuri nikmat

Mensyukuri nikmat dengan tiga cara. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Mensyukuri nikmat memiliki tiga rukun yaitu: Pertama, mengakui dengan hati. Kedua, memuji Allah dengan lisan. Ketiga, mengamalkan dengan anggota badan dengan sesuatu yang diridhai -Nya.” (Al-Qaulul Mufid: 2/283)

Oleh karena itu, megingkari nikmat Allah pun dapat terjadi dalam tiga hal ini:

  1. Hati, yaitu ketika seorang telah melupakan Allah sebagai pemberian nikmat, misal ia menyakini bahwa nikmat yang dia dapatkan berasal dari hasil jerih payahnya semata, rezeki berasal dari tempat kerja dan atasannya, dst.
  2. Lisan, semisal apa yang dahulu dikatakan Qarun, Allah berfirman:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al-Qashaah: 78)

3.  Perbuatan, yaitu dengan menggunakan nikmat-nikmat itu untuk berbuat maksiat kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ،

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? (QS. Ibrahim: 28-30)

Kiat mensyukuri nikmat Allah

– menuntut ilmu

Yang dapat melihat hakikat dunia serta tidak terbuai dengan kenikmatannya yang menipu hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu agama. Pantaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِْيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ

Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

Bandingkanlah antara ucapan Nabi Sulaiman sebagaimana firman-Nya:

قَالَ هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ

Dia (Sulaiman) berkata Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). (QS. Al-Naml: 40)

Dengan ucapan Qarun, sebagaimana firman Allah:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي

“(Qarun) berkata: sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al Qashash: 78)

– mengingat kematian dan akhirat

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ

“Banyak-banyaklah mengingat pemutus kenikmatan yaitu kematian” (HR. Tirmidzi: 2307)

Karena dengan mengingat kematian kita akan ingat pula bahwa semua nikmat yang kita rasakan akan ditanya dan dipertanggung jawabkan. Allah berfirman:

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang semua kenikmatan itu. (QS. At-Takatsur: 8)

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ

Kaki anak Adam tidak akan bergeser pada hari Kiamat dari sisi Rabbnya hingga ditanya tentang lima perkara; tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia pergunakan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan kemana dia infakkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dengan ilmunya.” (HR. Tirmidzi: 2416)

– melihat ke bawah dalam urusan dunia

Dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ

Bila salah seorang dari kalian memandang orang diberi kelebihan melebihi harta dan bentuk tubuhnya, hendaklah ia memandang orang yang lebih rendah darinya dimana ia diberi kelebihan atasnya.” (HR. Bukhari: 6490, Muslim: 2963)

Dalam redaksi lain, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Pandanglah orang yang berada dibawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih laik membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah.” (HR. Muslim: 2963)

Mengapa kita harus melihat ke bawah? Karena hawa nafsu itu tidak ada batasnya, dunia tidak ada habisnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوْبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Seandainya seorang anak Adam memiliki selembah emas, niscaya ia akan menginginkan lembah kedua. Tidak ada yang bisa memenuhi mulutnya kecuali tanah dan Allah menerima taubat orang yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari: 6436, Muslim: 1034)

– berteman dengan orang-orang miskin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pribadi yang lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang miskin, sampai-sampai beliau bersabda:

ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ

Carikan orang-orang lemah untukku, sesungguhnya kalian diberi rizki dan diberi kemenangan karena orang-orang lemah kalian.” (HR. Abu Dawud: 2594)

 

Sumber: https://maribaraja.com/kitabut-tauhid-bab-49-mensyukuri-nikmat-allah/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Just Shared on Tel-U

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading