Categories
Kepemimpinan dan Manajemen

Pemimpin Visioner dan Kaderisasi Kepemimpinan

Pemimpin Visioner dan Kaderisasi Kepemimpinan

Sumber : http://url.stisitelkom.ac.id/58625 

Rahma Sugihartati[1]

Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan, FISIP, Universitas Airlangga

 

Abstract

 

There is no improvement and success without the support of a visionary leader and also his/her big ambition. A visionary leader can emerge in business world, education, politic, or in other social organizations. The superiority of a visionary leader is his/her willingness to learn, develop “learning from people” approach, and as a metaphor, he/she is a traveler who never stops learning along the way: he/she always learns simultaneously and develops many innovative and radical ideas.There are three mechanisms developed by leader to prepare performance and development of organization: (1) how he/she reacts to crucial occurrence and critical situation in an organization, (2) how he/she develops enforcement mechanisms, and (3) how he/she prepares forming of cadres so that the existence of organization is not depended on one charismatic leader only; while in the second line there is no cadre who is ready to shift the position of the first leader.A visionary leader should prevent the possibility of leadership degradation.

 

Key words: visionary leader, leadership degradation, forming of cadres.

 

            Kredibilitas seorang pemimpin sesungguhnya bukan hanya ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengembangkan gagasan inovatif dan merumuskan langkah-langkah pengembangan organisasi yang taktis dan strategis, tetapi justru yang terpenting adalah kemampuan pemimpin  menghadapi situasi krisis, tekanan berat yang tengah dialami, dan sejauhmana pemimpin terbukti berhasil membawa keluar organisasi yang dipimpin dari berbagai persoalan yang tengah membelitnya.

            Lebih dari seorang creator yang mampu melihat kesempatan yang tidak dilihat orang lain dan kemudian memanfaatkannya, pemimpin yang dibutuhkan di era pasar bebas yang makin kompetitif seperti sekarang ini tak pelak adalah seorang pemimpin yang tetap tegar meski organisasi yang dipimpinnya tengah menghadapi masalah, dan sekaligus mampu menyiasati dan mengubah berbagai keterbatasan yang dihadapi menjadi peluang dan keunggulan utama organisasi atau perusahaan.

            Ketika menghadapi kesulitan, seorang pemimpin yang tangguh niscaya akan melihatnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, karena mereka umumnya tidak pernah menyerah dan memiliki optimisme yang baik. Memiliki visi ke depan, ambisius, bertangan dingin, dan kesediaan untuk belajar dari kelemahan dan kesalahan di masa lalu adalah karakteristik gabungan yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin dalam menyikapi krisis dan tantangan kemajuan (Champy, 2000, dalam Hesselbein & Johnston, 2005a: 124). Di samping itu, yang tak kalah penting adalah, seorang pemimpin yang visioner juga harus sejak dini telah mempertimbangkan aspek kelangsungan perusahaan dengan cara mempersiapkan proses kaderisasi atau calon pemimpin pengganti agar tidak terjadi degradasi kepemimpinan.

 

Visioner

Tidak ada kemajuan dan keberhasilan yang spektakuler dapat diwujudkan dan terjadi tanpa didukung pemimpin yang visioner serta ditopang ambisi yang besar. Sering terjadi seorang pemimpin yang gamang dan kurang berani melakukan perubahan besar hanya berkutat pada perubahan yang kecil-kecilan, tiba-tiba disadarkan bahwa lingkungan di luar telah berubah drastis dan mereka pun terlambat menyikapinya.

Pemimpin yang baik seharusnya memiliki visi ambisius, ditandai dengan keinginan besar untuk mencapai tujuan dan kapasitas perubahan yang berarti. Seorang pemimpin harus memiliki visi dan mampu membuka jendela bagi masa depan. Pemimpin yang handal, tidak akan sekadar menuruti kemauan dan selera pribadinya atau mencoba menggerakkan energi SDM yang dimilikinya hanya dengan model instruksi atau iming-iming kenaikan gaji. Lebih dari sekedar kemauan untuk menawarkan insentif atau mengandalkan pada kekuasaan yang dimilikinya, seorang pemimpin yang memiliki kharisma leadership diharapkan juga memiliki kemampuan untuk mensosialisasikan, meyakinkan dan membangun kepercayaan serta sense of belonging karyawannya.

Seorang pemimpin organisasi yang baik harus mampu menterjemahkan motivasi pribadinya dalam visi yang jelas dan dapat menimbulkan daya ungkit terhadap motivasi kerja karyawannya (Kouzes & Posner, 2004: 117). Dengan kata lain, yang namanya pemimpin harus sanggup memasarkan visi dan organisasi mereka kepada karyawan, pelanggan, pemasok, mitra usaha dan investor (Kotler, dalam Hesselbein & Johnston, 2005b:23). Dengan menjabarkan secara jelas apa yang ingin dicapai dan nilai yang mendasarinya, para pemimpin akan mampu memberi energi dan inspirasi yang mendorong orang lain untuk beraksi.

Sebuah organisasi yang hebat (superb organization) adalah sebuah organisasi yang berkinerja lebih baik dari pesaingnya, mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara optimal, mampu bertahan dan maju dalam menghadapi tantangan dan perubahan (Freedman dan Tregoe, 2004). Perusahaan yang hebat seperti ini niscaya tidak akan pernah muncul jika tidak didukung kompetensi pemimpin perusahaan yang benar-benar handal: yang mampu menterjemahkan visi dan misi perusahaan ke dalam program-program visioning, sekaligus memilih strategi yang tepat untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan .

Berbagai ahli umumnya sepakat bahwa yang disebut pemimpin visioner bukan sekadar sosok atau pribadi yang memiliki kemampuan memerintah atau mengatur orang lain, bagaimana menghadapi berbagai tantangan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi organisasi, kelompok atau perusahaan yang dipimpinnya. Tetapi, yang tak kalah penting, pemimpin juga harus memiliki kemampuan memprediksi, mengkalkulasi dan merancang berbagai solusi untuk menyikapi setiap perubahan yang terjadi dengan cepat di sekitarnya (Hesselbein & Johnston, 2005a).

            Seorang pemimpin yang visioner, sudah tentu harus memiliki visi yang benar-benar jelas dan terfokus. Yang dimaksud visi di sini adalah pernyataan mengenai tujuan, berorientasi pada masa depan dan dapat direalisasikan –dalam arti bukan sesuatu yang diawang-awang dan hanya merupakan utopia belaka. Seorang pemimpin yang visioner, niscaya harus memiliki kapasitas pribadi: cara berpikir yang berbeda, keyakinan, kompetensi dan juga kemampuan memformulasi pikirannya dalam tujuan yang jelas dan terarah. Dua pemimpin dalam satu organisasi mungkin memiliki pengalaman dan peluang yang serupa, namun mereka bisa saja memiliki visi mengenai masa depan organisasi yang berbeda. Mengapa? Karena mereka mungkin bertindak berdasarkan premis atau logika yang berbeda, visi mengenai cara kerja dunia yang berbeda.

            Seorang pemimpin yang visioner dihargai bukan karena kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. Berbeda dengan manajer yang kewenangannya diakui dan kepemimpinannya diikuti karena posisi struktural dan mandat kekuasaan yang diterimanya dari jajaran komisaris atau pemilik perusahaan. Pemimpin visioner, dihargai, menjadi panutan, bahkan idola dan memiliki kharisma personal yang kuat karena kemampuan, kompetensi, dan ide-ide inovatif yang dikembangkannya (Chowdhury, 2005). Dalam berbagai kasus, pemimpin yang visioner biasanya tidak mudah larut dalam arus yang tengah berkembang. Ia justru sering melawan arus, tidak terseret mainstream yang tengah berlaku dan dipercaya masyarakat. Meminjam istilah Edward de Bono, pemimpin yang visioner tak pelak memiliki dan senantiasa mengembangkan pikiran-pikiran yang melawan arus.

 

Beberapa Contoh

            Apa yang disebut pemimpin visioner,  sudah barang tentu tidak sebatas hanya di sektor swasta atau di berbagai perusahaan komersial yang tujuan utamanya adalah sekadar mencari keuntungan. Pemimpin visioner senantiasa muncul di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Dalam dunia politik, ekonomi, bisnis, masyarakat umum, atau dunia akademik selalu muncul tokoh-tokoh yang dihargai dedikasinya, pemikirannya dinilai mencerahkan, memiliki visi jauh ke depan, dan karena itu menjadi panutan. Apa yang dilakukan dan gagasan yang dikembangkan pemimpin yang visioner, biasanya akan menjadi ilham, bahkan pada batas-batas tertentu ’ideologi’ yang diperjuangkan oleh para pengikut atau penganutnya.

Di dunia bisnis, kita mengenal sejumlah nama yang sering disebut-sebut sebagai pemimpin yang visioner, seperti Bill Gates, Donald Trump, atau di tingkat nasional seperti sosok Ciputra, Dahlan Iskan, dan lain sebagainya. Bill Gates, bos Microsoft  yang terkenal itu dikategorikan pemimpin yang visioner karena berhasil memperkenalkan konsep sistem syaraf digital agar perusahaan dapat merespon secara cepat peluang dan hal-hal darurat. Gates disebut-sebut sebagai pioner dalam menumbuhkan industri software dan Personal Computer (PC) yang sekaligus menjadi simbol datangnya era informasi serta kapitalisme dunia digital.

Di Indonesia, salah satu tokoh yang layak disebut sebagai pemimpin yang visioner adalah Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group yang sudah terbukti mampu membawa berbagai perusahaan yang ada di bawah kendalinya bukan saja maju pesat, tetapi juga berkali-kali berhasil keluar dari situasi krisis yang menekan mereka. Ketika krisis ekonomi melanda bangsa Indonesia, dan salah satunya ditandai dengan kenaikan harga kertas yang luar biasa tinggi, apa yang dilakukan Dahlan Iskan benar-benar menakjubkan. Ia bukan saja mempelopori gerakan penghematan di internal perusahaannya dengan cara memangkas gajinya sendiri dan berjanji tidak akan berganti kacamata (yang sudah patah salah satu gagangnya) hingga Jawa Pos maju lagi, tetapi yang menakjubkan ia justru memanfaatkan dan menyiasati kenaikan harga kertas dengan tindakan yang cerdas, yakni memotong lebar halaman korannya menjadi lebih kecil, tetapi hal itu kemudian dipromosikan sebagai ukuran koran yang lebih seksi bagi pembacanya. Langkah yang dipilihnya terbukti berhasil karena Jawa Pos dapat menghemat ongkos produksi meski harga kertas naik, dan di saat yang sama merebut hati pembaca barunya dengan tampilan baru yang serba menarik.

Sampai saat ini, motto Jawa Pos yang kemudian menjadi ikon dan budaya kerja yang menjadi acuan seluruh kinerja wartawan dan jajaran redaksinya adalah ”Selalu Ada yang Baru”. Jawa Pos bukan saja menjadi satu-satunya koran nasional yang tetap terbit meski tanggalan berwarna merah atau hari libur nasional, tetapi Jawa Pos juga menjadi koran pertama yang memiliki cabang di berbagai daerah (Radar) yang isinya mengkombinasikan berita di tingkat nasional dan berita di tingkat lokal secara proporsional sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah.

Hal terbaru yang sekaligus makin membuktikan reputasi Dahlan Iskan memang patut disebut sebagai pemimpin visioner adalah tatkala ia menulis artikel berseri tentang pengalamannya melakukan operasi Ganti Hati di Tiongkok, yang kemudian juga dibukukan, dan dicetak hingga puluhan ribu eksemplar. Ketika kebanyakan orang tatkala sakit dan melakukan operasi lebih banyak menghabiskan waktu untuk berisirahat dan berdoa, sembari khawatir tentang keselamatannya, Dahlan Iskan justru menuangkan pengalamannya dalam serial tulisan yang luar biasa, dan mampu menjadi ilham bagi banyak orang agar tetap tegar menghadapi berbagai masalah, meski sepahit apapun persoalan yang dihadapi.

            Di dunia politik, sejumlah tokoh yang pantas disebut pemimpin yang visioner adalah Nelson Mandela, Mahathir Muhammad, Lee Kuan Yew, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, atau yang lain. Mereka layak dikategorikan pemimpin yang visioner karena kemampuan dan integritasnya, serta (yang terpenting) karena pandangannya yang jauh ke depan, melewati batas waktu, dan dua-tiga langkah di depan rakyat yang dipimpinnya. Gus Dur, misalnya, dengan empatinya yang luar biasa terhadap pemahaman mutikulturalismbenar-benar menempatkannya sebagai salah satu pemimpin yang visioner, terlebih bagi bangsa Indonesia yang masyarakatnya pluralistik. Sementara itu, Lee Kuan Yew, sering disebut sebagai pemimpin kebanggaan Asia karena kemampuannya memajukan negara kecil Singapura menjadi salah satu ikon bisnis di dunia internasional.

Di dunia akademik, sejumlah tokoh yang layak disebut adalah Amartya Sen, Stephen William Hawking, Muhammad Hatta, Nurcholish Masdjid, Muhammad Yunus (Pemenang Nobel Perdamaian 2006) dan lain-lain. Hawking, misalnya adalah seorang ilmuwan paling masyur, fisikawan terbesar yang memperlihatkan kecemerlangannya memerikan ruang dan waktu dalam menyingkap rahasia terdalam jagat raya. Berbagai karya besar Hawking, seperti teorinya tentang determinisme dan probabilisme, pikirannya tentang Lubang Hitam, dan teorinya tentang Usulan Nir-Batas untuk alam semesta benar-benar merubah pandangan orang tentang alam semesta. Sementara itu, Nurcholish Madjid dikenal bukan saja karena pikiran-pikirannya yang menyejukkan, tetapi juga acapkali disebut sebagai Guru Bangsa karena memiliki reputasi yang bersih secara moral, integritas yang kuat dan kapasitas intelektual yang mumpuni.

Muhammad Yunus bukan saja diakui reputasi akademiknya sebagai seorang Guru Besar, tetapi juga komitmen sosialnya di bidang penanganan kemiskinan. Lewat pendirian Grameen Bank, Yunus telah menyalurkan berbagai bantuan modal usaha bagi penduduk miskin tanpa agunan dan syakwasangka. Di mata Yunus, penduduk miskin seharusnya diperlakukan sebagai aset dan orang yang dapat dipercaya, karena hanya dengan cara itulah mereka akan dapat memberdayakan dirinya sendiri tanpa dibayang-bayangi dengan syakwasangka dan tindakan diskriminatif. Atas keberhasilan usahanya membantu peningkatan kesejahteraan penduduk miskin inilah, Muhammad Yunus akhirnya memperoleh hadiah Nobel Perdamaian Tahun 2006.

            Dengan berkaca dan melihat sejumlah contoh pemimpin visioner sebagaimana disebutkan di atas, jelaslah bahwa yang disebut sebagai pemimpin visioner sesungguhnya adalah sosok pribadi yang memiliki kompetensi yang mumpuni di bidangnya, cenderung berbeda atau bahkan melawan mainstream yang tengah berlaku, memiliki keterbukaan terhadap gagasan-gagasan alternatif, bersikap inovatif, dan memiliki kemampuan untuk mengantisipasi berbagai tantangan di masa depan tanpa harus terjerumus dalam sikap pongah yang kontra-produktif. Pemimpin yang visioner, biasanya bukan memperoleh kewenangan kepemimpinannya karena amanah atau karena sesuatu yang sifatnya given, tetapi ia diposisikan sebagai pemimpin karena track record yang baik, reputasi, serta kemampuannya yang memang spektakuler.

Seorang pemimpin yang visioner dalam banyak hal akan bersikap pro-aktif mendorong perubahan, dan umumnya adalah perubahan yang sifatnya radikal. Satu hal yang penting untuk dicatat, seorang pemimpin yang visioner tidak akan bersikap superior menjajakan gagasannya ke para pengikut atau orang-orang yang dipimpinnya dengan cara-cara represif dan aturan yang regulatif. Justru kelebihan seorang pemimpin yang visioner adalah kesediaannya untuk belajar, mengembangkan pendekatan learning from the people, dan meminjam istilah Frances Hesselbein (2007), ibaratnya adalah musafir yang tidak pernah berhenti sepanjang jalan: terus belajar dan mengembangkan berbagai gagasan inovatif dan radikal.

 

Lokomotif Perubahan

Seorang pemimpin harus mampu mengelola perubahan yang terus-menerus. Artinya, seorang pemimpin perusahaan seyogyanya tidak selalu terpaku dan kaku pada aturan yang membelenggu, sebaliknya ia harus fleksibel dan pandai membaca perubahan yang terjadi di sekitarnya agar dapat segera merespon perubahan dengan cepat. Pemimpin harus fleksibel dan cair untuk segera belajar beradaptasi serta mampu merespon perubahan dengan langkah-langkah yang inovatif (Hesselbein & Johnston (eds.), 2005a: 193).

Tanpa didukung kemampuan pimpinan untuk memanage potensi sumber daya yang dimiliki, kapan sebuah perusahaan collapse boleh jadi hanyalah tinggal menunggu waktu. Seorang pemimpin yang baik, harus mampu memobilisasi lingkungan dan sumber daya yang dimilikinya, serta mengkomunikasikan visi-misinya setiap waktu dan sekaligus mendemonstrasikan bagaimana ia menghayati nilai-nilai dan karakter yang dibutuhkan bagi kesuksesan organisasi. Artinya, seorang pemimpin juga harus menjadi teladan atau ilham bagi karyawannya tentang ke arah mana mereka harus mengembangkan diri dan bersikap dalam kerja organisasi. Seperti dikatakan Schein (1992), (dalam: Rivai, 2003), bahwa seorang pemimpin memiliki peran penting dalam menciptakan dan mentatalaksanakan budaya organisasi sepanjang pertumbuhan organisasi, mulai dari kehidupan awal, pertengahan dan masa dewasa hingga masa penurunannya.

Tugas utama seorang pemimpin adalah: pertama, membantu organisasi mendefinisikan dan mencapai tujuan, termasuk merencanakan strategi, visi dan bagaimana menghadapi tantangan; kedua, mewujudkan semangat komunitas atau staf yang ada di bawahnya, mempertahankannya dan menggerakkan menjadi energi demi kelangsungan dan perkembangan organisasi (Nicholson, 2001 dalam: Hesselbein, Frances & Rob Johnston, 2005b). Dengan kata lain, seorang pemimpin yang baik harus benar-benar menguasai proses pengelolaan dan pemanfaatan aset produksi, SDM yang ada dan teknologi yang dimiliki organisasi menjadi lebih bernilai di hari esok.

Pemimpin yang sukses selalu merupakan pemikir yang kreatif. Mereka tahu bagaimana melihat dari luar ke dalam, menantang status quo, bergerak proaktif, melihat dan mengembangkan bakat. Mereka menterjemahkan visi masa depan menjadi apa yang disebut Noel Tichy (1999 dalam Hesselbein, Frances & Rob Johnston, 2005a) sebagai ”pandangan yang dapat diajarkan”. Pandangan ini, menurut Tichy memiliki empat elemen, yaitu: (1) Ide, yakni produk, jasa, pasar, saluran distribusi atau segmen konsumen yang akan menjadi terpenting, (2) Nilai, yakni sikap dan idealisme yang mendukung ide-ide bisnis, (3) Energi Emosional, yakni dorongan, komunikasi satu sama lain, yang menciptakan hasil positif, dan (4) Edge, yakni cara maju dalam bisnis yang membuat pemimpin mampu menghasilkan keputusan ya atau tidak yang berat.

Sementara itu, menurut Markides (1999 dalam Hesselbein, Frances & Rob Johnston, 2005a), ada tiga cara yang biasanya dikembangkan pemimpin untuk mendorong inovasi dan kemajuan organisasi.Pertama, menguncang status quo, dalam arti tidak terlena dengan kemauan yang telah dicapai, dan untuk mencari perfoma di jalan yang baru. Kedua, memonitor kesehatan strategis. Seorang pemimpin yang inovatif, ia tidak sekadar memeriksa kesehatan finansial perusahaannya, tetapi ia juga akan memeriksa kesehatan strategisnya sebagai bagian dari mekanisme deteksi dini: mencoba mempersiapkan diri ketika krisis belum datang. Ketiga, mengolah variasi internal. Seorang pemimpin yang inovatif harus memiliki kemauan untuk terus bereksperimen dan belajar, sekaligus menjadi lokomotif perubahan bagi seluruh karyawan yang dipimpinnya.

            Di sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seseorang yang pro status quo atau anti perubahan, niscaya cepat atau lambat akan ketinggalan dalam iklim persaingan yang makin kompetitif karena tidak siap dengan gagasan-gagasan kreatif dan cerdas –yang sebetulnya merupakan modal dasar yang paling penting di era pasar global. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi ketika inisiatif dan kreativitas karyawan senantiasa direspon sebagai ancaman bagi perusahaan, sementara di luar sana riset dan eksperimen terus dikembangkan para kompetitor untuk mencari produk dan jasa terbaik yang dapat ditawarkan kepada pasar?

 

Kaderisasi dan Kepemimpinan

Secara garis besar, paling-tidak ada tiga mekanisme yang dapat dikembangkan seorang pemimpin untuk mempersiapkan kelangsungan dan kemajuan organisasi. Pertama, bagaimana seorang pemimpin bersikap atau bereaksi terhadap kejadian penting dan situasi krisis organisasi, bagaimana pemimpin mengalokasikan sumber daya yang ada, memberikan penghargaan dan status, dan bagaimana pemimpin melakukan rekruitmen, mempromosikan atau mungkin juga menghentikan tenaga yang dinilai sudah tidak lagi serasi dengan tujuan organisasi. Kedua, bagaimana seorang pemimpin mampu mengembangkan mekanisme penguatan. Artinya, seorang pemimpin bukan saja menyusun desain dan struktur organisasi, merancang sistem dan prosedur organisasi, tetapi juga mengembangkan berbagai ritus organisasi, nilai, kode etik dan ikrar organisasi. Ketiga, bagaimana seorang pemimpin mampu mempersiapkan proses kaderisasi agar kelangsungan organisasi tidak hanya tergantung pada satu orang pemimpin yang kharismatik, sementara di lapis kedua ternyata tidak ada satu pun kader yang siap menggantikan posisi pemimpin yang pertama.

            Di antara tiga mekanisme yang dikemukakan di atas, salah satu titik lemah yang acapkali dihadapi seorang pemimpin adalah dalam proses kaderisasi. Sering terjadi, kelangsungan hidup sebuah perusahaan ternyata hanya tergantung pada satu orang pemimpin kharismatik yang merupakan cikal-bakal pendiri perusahaan, sehingga ketika sang pemimpin itu mulai memasuki masa pensiun, ternyata perusahaan tidak siap dengan calon pengganti yang memiliki reputasi dan kemampuan yang sama, apalagi yang melebihi pemimpin terdahulunya.

            Seorang pemimpin yang visioner harus mampu mencegah kemungkinan terjadinya degradasi kepemimpinan. Seseorang layak disebut sebagai pemimpin visioner, sesungguhnya memang bukan hanya diukur dari kemampuannya melahirkan ide-ide inovatif dan keberaniannya menantang resiko, tetapi yang tak kalah penting adalah mempersiapkan dan mengembangkan model kepemimpinan yang lebih terdesentraliasi dan melembaga. Perlu disadari bahwa di era pasar global dan abad millenium seperti sekarang ini, kepemimpinan adalah tanggungjawab bersama, suatu paduan dari berbagai suara, pemikiran yang saling melengkapi (O’Toole, Pasternack & Bennett, 2000 dalam Hesselbein, Frances & Rob Johnston, 2005a), sehingga sulit diharapkan kelangsungan sebuah perusahaan terus-menerus hanya diserahkan kepada satu-dua pemimpin kharismatik, yang mana mereka sebetulnya adalah bagian dari keajaiban sejarah yang tidak selalu lahir dalam setiap kesempatan.

            Mencegah agar mata rantai kepemimpinan tidak terputus, dan memastikan bahwa warisan usaha yang ditinggalkan akan dijamin dapat terus berlanjut sesungguhnya adalah batu ujian kedua yang mesti dihadapi seorang pemimpin yang benar-benar visioner. Tanpa didukung dengan kemampuan melakukan proses kaderisasi dengan baik, maka seorang pemimpin niscaya hanya akan menjadi legenda: dikenang dan menjadi ilham, tetapi setelah itu selesai karena usaha yang susah-payah ia bangun, di generasi berikutnya ternyata gulung tikar karena tak didukung pemimpin baru yang memiliki reputasi sebaik mereka.

 

Daftar Pustaka

Chowdhury, Subir (dkk.) (2005) Organisasi Abad 21. Jakarta: INDEKS Kelompok Gramedia.

Freedman, Mike & Benjamin B. Tregoe (2004) The Art and Discipline of Strategic Leadership, Pemikiran Strategis Untuk Merealisasikan Visi Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hesselbein, Frances & Rob Johnston (2005a) A Leader to Leader Guide, On Creativity, Innovation, and Renewal (Tentang Kreativitas, Inovasi dan Pembaharuan), Insights from The Drucker Foundation’s Award-Winning Journal. Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta.

Hesselbein, Frances & Rob Johnston (2005b) A Leader to Leader Guide, On High-Performance Organizations (Organisasi Berkinerja Tinggi), Insights from The Drucker Foundation’s Award-Winning Journal. Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta.

Hesselbein, Frances (2007) Change, How to be A Leader for the Future, Menjadi Pemimpin Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kouzes & Posner (2004) Leadership The Challenge, Tantangan Kepemimpinan. Jakarta: Erlangga.

Rivai, Veithzal (2003) Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Pers.


[1] Korepondensi: R. Sugihartati, Departemen Informasi dan Perpustakaan, FISIP UNAIR, Jl. Airlangga 4-6, Surabaya 60286, Indonesia. Telp. (031) 5011744. Email: [email protected]

Last Updated ( Tuesday, 24 May 2011 21:34 )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Just Shared on Tel-U

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading